Dulu, sewaktu Afkar menculiknya, Iqlima murka, sangat murka. Dia merasa dikhianati, diperdaya, dan dipaksa menerima kenyataan yang tak pernah dia bayangkan. Namun kini, dalam keadaan yang serupa, hatinya justru dipenuhi harapan. Demi Tuhan, andai semua ini adalah rencana Afkar, Iqlima rela. Dia akan menerimanya tanpa perlawanan, bahkan bahagia lahir batin tentu saja. Saat kesadarannya perlahan kembali, matanya menangkap pemandangan sebuah kamar asing, tak ada jejak yang familiar, tak ada aroma khas yang mengingatkannya pada rumah. Langit-langit kamar ini cukup tinggi, dindingnya berwarna lembut, tetapi dingin dan terasa jauh dari kata nyaman. Pelan, Iqlima mengalihkan pandangan ke arah pintu. Napasnya tersendat, hatinya penuh harap. Mungkinkah saat ini Afkar tengah berdiri di sana, men