“Mas Afkar?” tanya Iqlima ragu. Telapak tangan itu perlahan terlepas, dan saat Iqlima berbalik, di hadapannya berdiri sosok yang beberapa hari ini dia nantikan dengan penuh kegelisahan. Afkar tersenyum tipis, terlihat sedikit lelah, tapi tatapan matanya masih hangat seperti biasanya. “Kaget?” tanya pria itu ringan, dengan seulas senyum tipis di wajahnya. Iqlima tertegun, tidak tahu harus merespons dengan marah, lega, atau justru menangis. Namun, sebelum dia sempat berkata apa pun, Afkar lebih dulu menariknya dalam pelukan erat. Tidak bisa menahan diri lagi, Iqlima segera membalas pelukan sang suami, dadanya terasa sesak, seolah semua kecemasan yang selama ini dia pendam akhirnya pecah begitu saja. Bahkan, Afkar sampai sedikit terkejut saat merasakan tubuh Iqlima yang lebih dulu merapa