Sempat ragu tatkala memutuskan harus ditemui atau tidak, pada keesokan harinya, Afkar memutuskan untuk mendatangi Justin empat mata. Dengan catatan, dia yang menentukan tempat dan Justin juga iya-iya saja. Tepatnya di sebuah kafe yang tak begitu ramai di sudut kota. Dari kejauhan, Afkar langsung mengenali sosok yang duduk membelakangi jendela. Justin. Pria itu masih di kursi rodanya, dengan kedua kaki yang belum mampu berdiri tegak seperti dulu, hasil dari pengkhianatan dan ambisi yang pernah dia tanam sendiri. Afkar menghampiri, tanpa senyum, tanpa sapaan basa-basi karena status mereka tak lagi sama. "Afkar? Apa kabar," sapa Justin lebih dulu, nada suaranya bahkan terdengar bergetar karena mungkin gugup. Afkar menarik kursi dan duduk di depannya. "Langsung saja, aku tahu kau bukan d