Tanpa perlu menjawab dengan kata-kata, Iqlima mengangguk pelan. Gerakannya begitu halus, nyaris tak terlihat, namun cukup bagi Afkar untuk memahami bahwa istrinya telah menyerahkan diri sepenuhnya kepadanya malam ini. Seolah pasrah akan segala kemungkinan, Iqlima menutup mata, berusaha menenangkan debaran jantungnya yang berdegup tak karuan. Tidak ada lagi bantuan obat seperti malam pertama, tidak ada sensasi panas yang menguasai tubuhnya hingga membuatnya haus akan belaian. Kini, semua terasa berbeda, lebih nyata, lebih intim, dan lebih mendebarkan. Afkar menatap lekat wajah istrinya yang masih diliputi keraguan, tangannya mengelus lembut pipi Iqlima, seakan memberi keyakinan bahwa semua akan baik-baik saja. “Santai saja, Sayang ... jangan terlalu tegang,” bisik Afkar penuh kelembutan.