Hari berganti, dan semua berjalan seperti biasa. Afkar masih bersikap seperti biasanya, tersenyum saat mencium keningnya sebelum pergi ke kamar mandi, lalu duduk menikmati sarapan yang Iqlima siapkan. Namun, entah kenapa, ada sesuatu yang membuat hati Iqlima tak tenang. Bukan karena kata-kata Afkar, bukan pula karena gesturnya yang manis seperti biasa, tapi karena matanya. Mata itu, tak setenang biasanya. Seolah ada sesuatu yang sedang disembunyikan, dan Iqlima, sebagai istri yang mengenal setiap tarikan napas suaminya, bisa merasakannya dengan jelas. Dia mengaduk teh hangat perlahan, sembari sesekali melirik Afkar yang tampak sibuk membaca pesan di ponselnya. “Ada yang mengganggu pikiranmu, Mas?” tanya Iqlima pelan. Afkar langsung menoleh, sedikit kaget. Lalu tersenyum hangat. “Tida