Mata Iqlima tetap terpaku pada jalanan, mengikuti mobil yang membawa Afkar hingga benar-benar menghilang dari pandangan. Napasnya memburu, dadanya terasa sesak, seolah sebagian jiwanya ikut direnggut pergi bersama suaminya. Demi Tuhan, dia tidak pernah membayangkan akan turut merasakan penderitaan yang dulu dialami oleh Uminya. Rasa kehilangan, ketidakpastian, dan luka yang menganga begitu dalam. Entah ini karma dari Abinya yang menurun ke anak perempuan atau bagaimana, tapi yang jelas kenyataan ini terlalu pahit untuk bisa Iqlima terima. "Tuh 'kan, apa aku bilang? Dia itu penj—" "Tutup mulutmu, Rinjani!" Suara Iqlima melengking, penuh penekanan. Wajahnya yang basah oleh air mata menegang, matanya menyala marah. Jika kemarin dia masih bisa menahan diri dan menanggapi adiknya dengan ke