Pagi menyelinap lewat celah tirai kamar. Sinar mentari yang lembut jatuh ke wajah Kalinda, membuat matanya perlahan terbuka. Sekilas ia menatap sisi ranjang di sebelahnya—kosong. Hatinya tercekat. Bram tidak ada. Kemana suaminya? Ia bangkit perlahan, menegakkan tubuhnya di tepi ranjang. Ada ketakutan aneh yang menggelayut di dadanya. Apa suaminya masih marah dengan kejadian tadi malam? gumamnya dalam hati. Ah, jangan sampai. Kalinda tidak mau meninggalkan Bram dalam keadaan seperti ini—marah, kecewa, terluka. Itu hanya akan menambah beban di hatinya sendiri. Namun rasa sesak tetap ada. Bagaimanapun juga, ia tahu ketika Bram mengetahui keputusan yang akan ia ambil nanti, pria itu pasti akan murka. Dan mungkin, ia tidak akan pernah memaafkannya. Secara tak langsung Kalinda akan kembali me

