Kalinda duduk di tepi ranjang dengan rambut masih basah, tubuhnya terbungkus bathrobe tipis. Jemarinya gemetar saat menatap layar ponsel. Nama Pak Junaedi terpampang jelas di kontaknya. Napasnya naik turun, d**a sesak, seolah setiap tarikan napas adalah beban. Dan dalam beberapa menit yang lalu. Ia sudah mengambil keputusan. Keputusan yang mungkin akan sangat menyakitkan untuk dirinya dan juga suaminya. Kalinda akan memutuskan menerima tawaran Pak Junaedi untuk pergi selama tiga hari ke luar kota. Demi sang Papa yang saat ini berada di rumah sakit. Kalinda memejamkan mata sesaat, lalu menekan tombol hijau. “Assalamualaikum, Pak.” Suaranya serak, namun berusaha dia sembunyikan. “Waalaikumsalam, Kalinda.” Suara berat nan hangat terdengar dari seberang. “Ada apa, Lin? Sudah saya tunggu

