Kenanga duduk di sofa ruang tamu rumah ibunya. Rumah besar itu terasa dingin, bukan karena pendingin ruangan, melainkan karena hatinya yang terus diselimuti amarah dan kecewa. Sejak pertemuannya dengan mantan suaminya. Sejak saat itu juga Kenanga terus memikirkan pria itu. Yang seharusnya tak boleh dia lakukan. “ma… aku nggak bisa kayak gini terus. Aku pengen balik sama Bramasta.” Suaranya bergetar, tangannya mencengkeram rok panjang yang ia kenakan. Marina, wanita paruh baya itu, hanya menghela napas panjang. Dari dapur, ia membawa secangkir teh hangat dan menaruhnya di meja depan putrinya. “Kenanga, kamu sadar nggak sih… semua ini karena pilihanmu sendiri? Kamu yang ninggalin dia dulu demi pria lain. Sekarang kamu nangis-nangis minta kembali. Makanya jadi perempuan jangan bodoh” Kena

