Pagi itu, matahari baru merangkak naik, menembus tirai tipis kamar mereka. Kalinda seharusnya merasa hangat dan tenang, apalagi Bram masih tertidur di sampingnya. Namun, getaran ponselnya di meja kecil sebelah tempat tidur memutus semua kenyamanan itu. Kalinda bangkit dari rebahannya. Perlahan menyingkirkan pelukan suaminya dari pingganganya. Perlahanagar suaminya tak terbangun karena pergerakannya. Tangannya sempat ragu saat meraih ponsel, tapi begitu melihat nama pengirimnya—Marina—dadanya langsung mengeras. Ibu tiri yang bahkan diingat pun membuat tengkuknya menegang. Kenapa tiba-tiba nenek lampir ini menghubunginya? Seketika pikirannya menerawang ke hal yang tidak-tidak. Apa terjadi sesuatu pada sang ayah? Semoga saja tidak. Karena setelah Kalinda memutuskan untuk pergi dari rumah

