Langkah Bramasta memasuki kantor pusat Nayaka Life Insurance selalu mengundang tatapan. Posturnya yang tegap dengan setelan jas mahal, sepatu mengilap, dan aura dingin seorang pemimpin membuat siapa pun otomatis menunduk memberi hormat. Namun siang itu, sang CEO justru terlihat lebih kusut dari biasanya. Begitu pintu ruangan eksekutif tertutup rapat, Bram menarik kasar dasi yang melilit lehernya. Napasnya berat, seakan ada batu besar yang menghimpit dadanya. Jam di dinding sudah menunjuk angka 12 siang—waktu makan siang. Seketika, pikirannya tertuju pada satu nama. Kalinda. Tangannya meraih ponsel, jari-jari panjangnya langsung mengetik nomor istrinya. Berniat mengajaknya makan siang bersama, barangkali untuk mencairkan suasana yang sempat menegang kemarin. Namun layar ponsel justru me

