Langit pagi itu beranjak cerah ketika Kalinda berdiri sendirian di ruang tunggu bandara. Suara panggilan penerbangan bergema dari pengeras suara, bercampur dengan hiruk pikuk orang-orang yang sibuk dengan koper dan jadwal masing-masing. Namun dunia Kalinda seolah berhenti di satu titik—dadanya sesak, tangannya menggenggam tiket yang akan membawanya jauh. Makassar, dan hatinya… hancur berkeping. Tiga hari. Hanya tiga hari seminar. Dan saat itu pula kesempatannya menghindari Bramasta yang dalam detik ini juga mungkin akan merubah statusnya. Melepaskan cintanya dengan menukarkan kesehatan sang ayah yang jelas membuat keduanya sakit. Jika Bram tau, mungkin dia tak akan terima dengan ini semua. Kalinda merapatkan jaket di tubuhnya, mencoba mengusir gemetar yang bukan berasal dari dinginnya p

