Brakk! Pintu ruang kerja Kalendra terbuka kasar. Lelaki dengan setelan rapi itu mendongak, terkejut sekaligus kesal. “Apa-apaan kamu, Bram?!” serunya, bangkit dari kursi. “Masuk ruangan orang seenaknya, nggak ada sopan santun sama sekali!” Bram tak peduli. Napasnya memburu, wajahnya merah, dan matanya menyala penuh amarah. Ia meletakkan sebuah map merah di atas meja kaca dengan keras hingga bunyinya memantul ke seluruh ruangan. “Baca!” sentaknya. Kalendra mengernyit. Dengan enggan ia meraih map itu, membuka lembar demi lembar. Keningnya semakin berlipat ketika matanya menangkap coretan tanda tangan adiknya sendiri di atas secarik kertas lecek. Surat gugatan cerai. “Kalinda?” suaranya tercekat. “Apa ini? Kenapa bisa…?” “Harusnya aku yang tanya!” Bram membalas dengan suara parau namun

