Bram mengangkat wajah Kalinda perlahan, menatap dalam ke mata perempuan itu. Ada bara yang diam-diam membakar di balik sorot matanya—bukan sekadar nafsu, tapi rasa memiliki yang dalam, tak tergoyahkan. Tanpa sepatah kata, ia mendekat, membiarkan jarak mereka menguap. Hidung mereka bersentuhan, napas mereka menyatu, sebelum akhirnya Bram mengecup bibir Kalinda. Lembut. Penuh ketenangan. Tapi juga dalam tak membiarkan ciuman itu berlalu begitu saja, menyesapnya, menggigit kecil bibir bawah dan atas Kalimda. Seolah menandai bahwa wanita itu… adalah miliknya. Kalinda terdiam. Tubuhnya sempat menegang, namun perlahan melemas dalam rengkuhan itu. Ciuman Bram bukan sembarang ciuman. Ada sesuatu yang berubah sejak malam itu. Tatapan Bram padanya kini lebih dalam. Lebih mengikat. Dan dalam keheni

