“Kamu ngapain di sini?” suara Kenanga terdengar tajam, menatap Kalinda dari ujung rambut hingga kaki dengan penuh rasa meremehkan. Kalinda mengangkat dagunya sedikit, tidak ingin kalah. “Kamu sendiri ngapain?” balasnya tenang tapi menusuk. “Aku diajak Papa. Kamu kayaknya nggak ada urusan ke sini, terus ngapain coba?” Kenanga melipat tangan di depan d**a, alisnya terangkat dengan sombong. Kalinda tersenyum tipis, meski di dalam dadanya terasa perih. “Oh, Papa ya? Papa yang mana?” suaranya datar, tapi matanya sedikit bergetar. Ia tahu siapa yang dimaksud Kenanga. “Papa Iqbal-lah. Mau siapa lagi,” jawab Kenanga cepat, seolah ingin menegaskan statusnya. Namun pandangannya tiba-tiba tertumbuk pada genggaman erat Bram dan Kalinda. Ia terbelalak, baru menyadari sejak tadi tangan besar Bram ta

