Pintu kamar itu terbuka perlahan. Bram berdiri sejenak di ambang pintu, ada makanan di lantai bawah yang sengaja dia bawa saat istrinya meminta sesuatu sebelum dirinya pulang kembali. Seperti janjinya, meski tak di jam makan siang tepat waktu, setidaknya Bram menepati janjinya. Pandangan Bram langsung jatuh pada sosok mungil di ranjang. Kalinda meringkuk, selimut menutup separuh tubuhnya, gorden tertutup rapat sehingga cahaya matahari hanya menembus samar. Suasana terasa murung, sunyi—tak seperti biasanya. Hati Bram mencelos. Apa sesakit ini kamu, Dek? Sampai tidur pun kau sembunyikan wajahmu dari dunia? Ada seribu pertanyaan berputar di kepalanya, tapi ia tahu, memaksa hanya akan membuat luka itu makin dalam. Langkahnya pelan, berusaha tidak menimbulkan suara berlebihan. Lalu berjala

