Ruang perawatan itu begitu sunyi. Hanya suara mesin monitor jantung yang berdetak pelan dan desis lembut oksigen dari tabung di sisi ranjang. Aroma antiseptik yang menyengat tak mampu menutupi perasaan sesak yang memenuhi d**a Kalinda sejak pertama kali menatap sosok itu—pria paruh baya dengan wajah yang dulu tampak tegas, kini pucat pasi, matanya sayu, bibirnya kering dan bergetar tipis. “Pa…” suara Kalinda nyaris tak terdengar, serak tertahan tangis. Ia menatap lekat wajah yang dulu hanya bisa ia kenang dengan getir, karena lebih sering memihak orang lain daripada dirinya. “Papa…” Bram yang berdiri tak jauh darinya hanya menatap dalam diam. Tangan besarnya sempat menggenggam lembut jemari istrinya, memberi kekuatan tanpa perlu bicara. Tapi saat Kalinda menoleh padanya dan mengangguk

