“Cowok impian kamu kayak apa, Bi? Cowok yang mungkin akan kamu pertimbangkan jadi pendamping hidup,” tanya Nathan sambil melirik sedikit ke arah Bianca.
“Pacar ya. Mau cowok yang ....”
Bianca menoleh ke arah sugar daddy-nya. “Kayak kamu kali ya.”
“Kok kayak aku.”
“Iya lah. Kamu kan tipe cowok impian semua orang. Tampan, berduit dan gak malu-maluin kalo diajak kondangan,” terang Bianca sambil terkekeh.
“Hahaha ... bisa aja kamu ini. Tapi emang aku gitu sih. Pinter nyenengin pasangan. Termasuk kamu.” Nathan menatap Bianca sejenak dengan tatapan yang teramat berbeda dari biasanya.
Oh my God!
Entah angin apa yang baru saja menerobos jendela mobil yang tertutup rapat. Ucapan Nathan bisa membuat tubuh Bianca meremang dan pipinya merona. Iya, Bianca kepanasan sampai harus memalingkan wajahnya, agar Nathan tidak mengetahuinya.
Bianca mencoba untuk membuka sedikit jendela mobil. Dia ingin angin itu menghantam wajahnya, agar dia kembali tersadar dari gombalan receh Nathan.
Kalau Bianca yang baru dua hari menjadi sugar baby Nathan dan bisa tersipu begini, lalu apa kabar dengan sugar baby lainnya. Apa mereka akan baik-baik saja atau sudah kebal dengan gombalan seperti itu.
Mobil berhenti di sebuah supermarket untuk membeli perlengkapan yang akan mereka gunakan selama menginap. Nathan menyuruh Bianca membeli bahan makanan dan perlengkapan lain, sedang dia akan membelikan baju ganti untuk dia dan Bianca.
Mobil telah parkir di depan sebuah tenda berukuran besar tempat mereka akan menghabiskan malam. Bianca yang masih terbawa suasana romantis dadakan Nathan, memilih segera turun dan mengambil barang-barang di bagasi.
“Bi, sini bentar,” panggil Nathan sambil menoleh ke arah Bianca yang kedua tangannya sudah penuh dengan tas belanja.
“Bentar, mau taroh barang dulu,” jawab Bianca.
“Taroh aja dulu. Bentar lagi mataharinya terbenam. Kita foto dulu.”
“Hah, foto?” Bianca sedikit kaget dengan ajakan Nathan.
“Tunggu bentar, aku ma –“
“Bantah terus aja ya. Ayo, Baby.” Nathan berhasil menangkap Bianca yang menyeretnya mendekati pagar pembatas.
“Kamu kenapa?” tanya Nathan saat melihat Bianca melangkah dengan sangat ragu dan kaku.
“Aku takut ketinggian. Jangan di sini fotonya.”
“Oh gitu. Ya udah, aku yang di belakang kamu yang ambil fotonya ya.”
Nathan segera berdiri di belakang Bianca dan memeluk pinggang ramping wanita itu. Tidak lupa juga Nathan juga meletakkan dagunya di pundak Bianca dengan senyum lebar, siap mendapatkan jepretan memori dari ponselnya.
Tentu saja Bianca makin belingsatan. Dia ingin menolak, tapi dia takut Nathan akan marah. Bianca mencoba biasa saja, sambil mencoba menenangkan jantungnya agar tidak tiba-tiba melompat. Ini adalah pose paling ekstrim yang pernah dilakukan Bianca kalau akan berfoto dengan lawan jenis.
Beberapa kali jepretan foto sudah di dapatkan. Bianca menyerahkan kembali ponsel Nathan dan dia segera melipir pergi kembali ke tenda.
“Bi, fotonya bagus. Kamu pinter ambil fotonya,” ucap Nathan yang duduk di teras tenda sambil melihat hasil jepretan kamera mahalnya.
“Kirim dong,” jawab Bianca sambil menyiapkan makan malam.
“Ntar aja.” Tangan Nathan meraih botol air mineral di atas meja.
“Hmm Dad, nanti malam kita berdua bermalam di sini ya?” tanya Bianca sedikit ragu.
Nathan mengangkat pandangannya. “Iya. Kenapa emangnya?”
“Tapi di dalam cuma ada satu tempat tidur aja.”
“Trus kenapa? Kamu gak mau tidur satu tempat tidur ama aku?”
Menyadari ucapannya salah, Bianca segera menggeleng. “Gak kok, mau. Aku mau tidur ama cowok keren dan bau uang,” ucap Bianca sambil tertawa.
Nathan menyambut ucapan Bianca dengan tawanya juga. Dia sampai terbatuk-batuk mendengar ucapan Bianca yang selalu menakjubkan di matanya.
“Dad, kamu pasti anggep aku mata duitan dan murahan ya?” tanya Bianca.
Nathan segera menggeleng. “Enggak. Gak sama sekali. Itu logis menurut aku.”
“Kok gitu? Emang sugar baby kamu yang lain gitu juga ya?”
“Gak, baru kamu yang berani spontan nyeplos. Mereka biasanya sok jual mahal dan masang gengsi ketinggian. Aku suka yang apa adanya kayak kamu. Dan satu lagi, kamu lucu. Itu poin besar buat kamu.” Nathan memuji Bianca.
Bianca tersenyum senang mendengar pujian Nathan. Dia tidak menangkap sorot mata Nathan berubah saat mengucapkannya, dia hanya berharap daddy-nya itu mengatakan yang sebenarnya.
Bianca menyalakan kompor yang sudah tersedia di sana. Dia ingin membuat minuman hangat, karena hari semakin dingin.
“Setelah kamu lulus nanti, apa rencana kamu?” tanya Nathan.
“Pengen kerja di perusahaan besar. Dengan nilai besar dan juga lulusan kampus bagus, aku berharap itu bisa terwujud. Tapi sebenernya aku juga pengen lanjut S2 sih,” jawab Bianca.
“Aku bosan idup miskin. Dunia sangat tidak bersahabat untuk orang yang miskin dan tidak punya kekuasaan. Kalo orang kaya kayak kamu, dunia serasa ada di dalam genggaman.”
“Aku gak menyangkal itu. Karena itu adalah hukum dunia. Gak ada yang namanya kesetaraan. Kalo mau liat kesetaraan yang sebenarnya, dateng aja ke pemakaman. Di sana semua manusia baik yang kaya ato miskin, semua bakalan balik jadi tanah. Gak ada yang bakal jadi emas ato perak. Bener gak?”
Bianca tertawa mendengar jawaban Nathan. “Bener banget. Ternyata kamu bisa ngelucu juga ya. Kirain cuma bisa flirting doang,” ledek Bianca.
“Itu bagian dari flirting, Baby.” Nathan mengedipkan satu matanya.
“Kamu makin cantik kalo ketawa kayak gitu.”
Deg!
Apa lagi ini. Apa mulut Nathan memang semanis ini.
Bianca jadi ingin bertanya pada para sugar baby senior milik Nathan. Apa hati mereka baik-baik saja setiap Nathan melakukan flirting pada mereka.
Bianca langsung canggung. Dia berpamitan pada Nathan untuk berganti pakaian dulu, karena dinginnya angin sudah tidak bisa dia tahan lagi.
Bianca mengguyur wajahnya dengan air dingin. Dia ingin kembali sadar dan ingat lagi tentang hubungannya dengan Nathan.
Sepertinya Nathan memang tipe pria yang suka sekali melontarkan kata-kata manis yang membuat hati seorang wanita tidak menentu. Tapi Bianca hanya seorang sugar baby, wanita tempat Nathan bersenang-senang.
Malam semakin larut. Bianca menyiapkan tungku grill, tempat dia akan memanggang daging dan juga perbekalan mereka.
Nathan melihat ke arah Bianca yang tampak sangat cekatan mengerjakan semuanya sendirian. Dia mengangkat kursinya lalu duduk di samping Bianca, membantunya memanggang daging.
“Kamu lihai banget. Udah biasa masak ya?” tanya Nathan.
“Ya namanya juga tinggal sendiri, jadi harus bisa masak lah.”
“Iya juga ya. Tapi kamu seneng gak di sini?”
“Seneng aja. Tapi dingin banget.”
“Iya. Dingin banget. Makanya aku juga gak suka glamping.”
Bianca menoleh dengan cepat. “Lah, trus kamu kenapa ngajak aku ke sini?”
Nathan memamerkan senyum lebar. “Pengen aja. Soalnya katanya seru.”
“Biasanya aku lebih suka ke pantai gitu,” lanjut Nathan lagi.
“Hmm, gak jelas banget ni orang,” gumam Bianca dalam hati yang kemudian memilih diam, malas menjawab.
Makan malam siap. Dua manusia yang sedang kedinginan itu segera melahap makanan yang baru saja mereka masak bersama.
Karena hari semakin dingin ditambah lagi, gerimis mulai datang, kedua orang itu memilih untuk segera masuk ke dalam tenda. Tenda itu cukup mewah. Ada satu ranjang ukuran besar di tengah tenda, dan ada dua kursi untuk sedikit bersantai.
Bianca masuk ke dalam selimut lebih dulu saat Nathan masih di kamar mandi. Dadanya mulai berdetak tidak karuan, karena ini adalah pertama kalinya dia akan tidur berdampingan dengan Nathan dalam satu ranjang yang sama.
Nathan keluar dari kamar mandi dan langsung masuk ke dalam selimut. Dia melihat Bianca tampak sangat tegang dengan memegang selimut kuat-kuat.
“Kedinginan?” tanya Nathan.
“He em.” Bianca memilih berdehem saja sambil mencoba untuk memejamkan matanya.
“Mau di peluk?”
Bianca langsung membuka matanya dan spontan menggeleng. “Gak. Gak usah.”
“Kalo aku yang minta peluk, boleh?”