Bab 8. Berbagi Cerita

1210 Kata
“Glamping? Se-sekarang?” tanya Bianca serasa tidak percaya dengan apa yang dia dengan. “Iya. Kenapa?” jawab Nathan santai sambil menyesap jus jeruknya. “Bu-bukannya kamu besok harusnya kerja ya. Kan besok bukan weekend.” “Gampang lah itu. Aku bisa kerja dari sana dan nyuruh Bima ngawasin semuanya.” “Jadi maksud kamu, kita bakalan pergi berdua aja?” “Iya lah. Aku tiba-tiba pengen ajak kamu glamping.” “Tapi aku belum siap-siap. Belum beli perlengkapan juga.” “Kita beli di jalan ntar. Jangan kayak orang susah ah.” “Tapi –“ “Come on, Baby! Jangan banyak alasan lagi. Kamu sugar baby-ku bukan sih?” Nathan memotong ucapan Bianca. Bianca menunduk pasrah. “Iya. Maaf, Daddy,” jawab Bianca pelan. Mendengar Nathan memanggilnya baby bahkan sampai memotong ucapannya, membuat nyali Bianca langsung drop. “Glamping berdua. Udara dingin. Tidur satu tempat tidur. Mati aku, apa yang bakalan terjadi ntar. Moga aja dia beneran nepatin omongannya gak gampang tidur ama cewek,” gumam Bianca dalam hati yang terpaksa dengan berat hati harus pasrah pada keinginan daddy-nya. Tidak lama kemudian tamu Nathan yang ditunggu pun tiba. Bianca harus mengubur dalam-dalam keresahannya, agar dia tidak tampak seperti orang galau di depan para tamu Nathan. Nathan tersenyum tipis melihat alsi Bianca. Sugar baby-nya kali ini cukup memuaskannya. Selain terlihat cakap dan memiliki wawasan luas, Bianca bisa menjawab apa yang ditanyakan oleh istri kliennya. Pertemuan bisnis di sertai dengan acara makan itu pun selesai. Tamu Nathan berpamitan dan meninggalkan Nathan dan Bianca di sana. “Ayo jalan. Keburu malam,” ajak Nathan sambil meminta kunci mobil pada Bima. “I-iya,” jawab Bianca yang segera menyusul langkah kali Nathan. “Itu Pak Bima gak diajak?” tanya Bianca yang melihat Bima sedang menyelesaikan p********n di kasir. “Bisa pulang sendiri dia.” Dalam hitungan detik, mobil mewah Nathan langsung melaju meninggalkan restoran. Mereka langsung menyatu dengan kendaraan lain di jalan raya, menuju ke tempat mereka akan liburan dadakan. Bianca sedikit melirik ke arah Nathan. Wajah tampan itu kini tampak semakin tampan karena ditambah dengan kacamata hitam yang bertengger di ujung hidung mancungnya. Kalau semalam Bianca dibuat bingung menebak karakter sugar daddy-nya, sekarang dia malah semakin dibuat bingung dengan gaya hidup pria itu yang selalu tidak bisa ditebak. Satu hal tentang Nathan. Pria tampan yang penuh kejutan dan ide dadakan, serta suka bertindak sesuka hatinya sendiri. Tidak ada yang bisa membaca pikiran Nathan, bahkan orang tuanya sendiri. Sehingga sulit bagi orang baru untuk memahami kepribadian pria ini yang sebenarnya. “Boleh nyalain musik? Bosen, sepi banget,” tanya Bianca sebelum dia menyalakan radio di mobil Nathan. “Nyalain aja. Cari saluran yang enak,” jawab Nathan sambil terus menyetir. “Bi, kamu gak berniat pindah gitu?” tanya Nathan saat Bianca sedang mencari saluran radio dengan alunan lagu enak. Bianca melihat ke arah Nathan sejenak. “Pindah ke mana?” “Ya pindah ke mana gitu. Kan rumah kamu kecil banget.” “Biarpun kecil, tapi nyaman kok. Lagian aku kan tinggal sendirian, jadi gak perlu hunian yang gede.” Nathan menghentikan mobilnya saat lampu merah. Dia melihat Bianca sudah duduk dengan santai di sampingnya. “Emang gak kepanasan? Kayaknya di situ pemukimannya padet banget.” “Kan ada AC. Ya meski cuma satu, tapi cukup adem kok.” “Oh ada AC. Kirain gak ada. Padahal tadinya aku mau beliin kamu apartemen.” Bianca menoleh ke Nathan yang kembali melajukan mobilnya. Wajah pria itu tampak santai saja saat mengatakan keinginannya. Sepertinya, beli apartemen itu semudah beli seblak buat Nathan. “Gak usah. Enak di situ kok. Aku udah nyaman di situ,” jawab Bianca mencoba menolak dengan halus. “Kalo di renov dikit gak papa ya. Di cat ato tamannya di bersihin. Aku takut papaku udah mulai nyuruh orang buat nyelidikin kamu.” “Oh ya, udah ngeliat sesuatu yang aneh gak hari ini?” tanya Nathan memastikan. “Gak ada kok. Aku gak liat ada orang aneh di kampus tadi,” lapor Bianca. “Bagus deh. Tetep waspada ya.” Suasana mendadak sunyi di dalam mobil. Hanya ada suara penyiar radio dan juga lagu yang dia putar menyesaki ruangan mobil ini. “Kenapa tiba-tiba pengen glamping?” tanya Bianca. “Pengen aja. Tiba-tiba pengen pergi glamping ama kamu,” jawab Nathan santai.” “Oh.” “Kenapa emang?” Nathan balik bertanya. Bianca sedikit tergelak. “Kita udah kayak orang pacaran aja ya. Pergi liburan bareng. Pasti ntar orang yang ngeliat kita pergi berdua, pasti nyangkanya gitu.” Nathan tertawa mendengar ucapan Bianca. Dari semua sugar baby yang dia punya, baru Bianca yang mengatakan itu. Mungkin karena Bianca adalah sugar baby paling muda yang dia miliki. Sejujurnya Nathan juga tidak tahu apa yang dimaksud dengan pacaran. Nathan belum pernah pacaran lagi sejak dia dikhianati oleh kekasihnya waktu SMP. Bukan tidak move on ya, tapi lebih ke kesal saja. Dia marah karena kekasihnya yang dia percaya malah memilih orang lain yang lebih jelek dari dia. Itulah sebabnya Nathan mengoleksi banyak sugar baby. Dia tidak ingin memiliki kedekatan emosional apalagi membuat komitmen yang merepotkan dengan seorang wanita. Baginya memanjakan wanita dengan uangnya dengan imbalan mendapatkan afeksi tanpa perasaan itu sudah lebih dari cukup. “Baby, kamu pernah pacaran sebelumnya?” tanya Nathan. “Gak pernah. Gak sempet,” jawab Bianca sambil meremas sabuk pengaman di depan dadanya. “Kenapa gak sempet? Emang pacaran butuh waktu banyak ya?” “Iya kali. Aku mah mana sempet. Kalo gak belajar, mana bisa sekolah. Aku bisa lulus dari sekolah bagus kan semua dari hasil beasiswa. Orang tuaku mana bisa biayain di sekolah bagus.” Bianca sedikit menceritakan masa lalunya. “Oh, miskin ya. Bagus sih, ada usaha.” Kata-kata Nathan yang terucap dengan entengnya itu sukses membuat Bianca mendengus sampai memonyongkan bibirnya. Orang kaya di sebelahnya ini ternyata agak sedikit tidak tahu diri. “Aku juga gak pernah pacaran,” ucap Nathan tiba-tiba. Bianca menoleh ke pria muda itu. “Masa? Gak percaya ah.” “Kok gak percaya. Alasan kamu apa gak percaya?” “Hmm ... ya kan daddy cakep. Trus kaya dan pasti jadi impian banyak cewek. Jadi kayaknya impossible banget deh kalo gak pernah pacaran. Tipe kayak kamu bukan tipe yang gak akan dipilih ama cewek mana pun.” Nathan terkekeh. “Justru karena alesan itu lah aku gak mau terikat ama siapa pun. Kalo aku bisa dapet banyak cewek dan kasih yang mereka mau, kenapa harus repot-repot bikin komitmen segala. Bener gak?” Bianca menganggukkan kepalanya. “Masuk akal juga sih.” Bianca menoleh lagi ke sugar daddy-nya. “Tapi beneran gak pernah pacaran sama sekali?” “Tanya aja ama Bima kalo gak percaya. Dia udah ikut aku udah lama banget.” Bianca melihat jauh ke depan. “Tapi meski gak pernah pacaran, tapi sugar baby kamu banyak. Jadi kamu gak pernah kesepian dan ngerasa sendirian.” “Yes, you right!” Gaya hidup Nathan yang terlalu mudah dan gayanya yang terlalu blak-blakan membuat Bianca terpaksa menyunggingkan senyumnya. Sungguh beruntung orang seperti Nathan yang sepertinya tidak pernah merasakan kekurangan, termasuk masalah wanita. “Cowok impian kamu kayak apa, Bi? Cowok yang akan kamu pertimbangkan jadi pendamping hidup mungkin,” tanya Nathan sambil melirik sedikit ke arah Bianca. “Pacar ya. Mau cowok yang ....”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN