Bab 7. Daddy

1203 Kata
“Nathan!” pekik Bianca dalam hati. Ingin sekali Bianca berteriak memanggil nama sugar daddy kurang ajarnya itu. Bisa-bisanya dari sekian banyak nama di dunia ini, kenapa dia harus memilih nama Daddy sebagai penanda nomor ponselnya. Tentu saja Bianca menjadi sangat malu saat ini pada Arga yang terang-terangan sedang menertawakannya. Bianca yang kesal pada Nathan hanya bisa memejamkan matanya menahan rasa geram di dadanya. “Kok gak diangkat? Ntar sugar daddy kamu marah lho,” ledek Arga sambil menertawakan Bianca. Bianca menarik napas dalam. “Gak ah, paling nagih utang,” jawab Bianca asal. Tawa Arga mendadak mereda. “Utang? Emang kamu punya utang ama Nathan?” “Nathan? Enggaklah. Masa iya pacarnya kok punya utang.” Bianca memutar bola matanya. “Emang nama ‘Daddy’ itu harus identik ama sugar daddy ya? Dih,” sungut Bianca sambil memalingkan wajahnya dan mendengus kesal. “Cih, pacar. Itu tadi yang nelpon kamu Nathan kan? Sugar daddy kamu.” “Eh Arga! Emang kalo di situ di tulis namanya Daddy, itu artinya sugar daddy ya? Trus kalo beli gula di toko, itu berarti itu kode buat minta sugar daddy juga ya. Cetek banget sih otakmu!” sahut Silvia yang mulai mengerti jalan pikiran Bianca. “Tau nih. Pantes aja bego,” lanjut Bianca sambil melirik sinis pada Arga. “Heh! Emang kamu pikir aku percaya ama yang kalian bilang.” “Bodo amat. Gak ada urusannya ama aku.” Bianca tetap cuek, tidak mau terlihat lemah di depan Arga. Arga mulai kesal pada sikap Bianca yang mulai berani menentangnya. Tentu saja situasi ini tidak akan menguntungkan buat dia. “Heh, Bianca. Pokoknya kerjakan tugasku buat minggu depan. Awas kalo gak selesai!” ancam Arga. Bianca menatap sinis ke arah Arga. “Dih, siapa lu nyuruh-nyuruh orang seenaknya.” “Ok, kalo gak mau gak papa. Tapi siap-siap aja kamu dipanggil ama Om Beni ato Tante Ivana.” Mendengar nama kedua orang tua Nathan disebut oleh Arga, tanpa komando lagi Bianca langsung menoleh. Tatapan sinis dari sudut matanya pun langsung tertuju pada teman sekelas songongnya itu. Arga tersenyum tipis. “Sampe ketemu minggu depan, Bi. Seneng berbisnis ama kamu.” Arga kemudian segera berdiri dan pergi meninggalkan meja Bianca begitu saja. “Bisnis pala lu! Dasar kampret!” umpat Bianca meluapkan rasa kesalnya pada Arga. “Bi, gimana nih?” tanya Silvia ingin tahu apa yang akan dilakukan sahabatnya. “Aku turutin dulu deh. Kalo ntar dia makin ngelunjak, bakalan aku laporin ke Nathan,” jawab Bianca. “Oh iya Nathan. Duh, ngapain dia tadi telpon ya.” Bianca segera meraih ponselnya. “Buruan telpon, Bi. Ntar dia marah bisa balik miskin kamu.” “Ogaahh,” jawab Bianca sambil tersenyum lebar dan mencoba menghubungi Nathan lagi. “Ha –“ “Dari mana kamu? Kenapa telponku gak dijawab?” cerocos Nathan memotong sapaan Bianca. “Lagi di kelas tadi. Ini barusan keluar.” Bianca terpaksa berbohong. “Bi, sore ini temui aku di restoran. Nanti lokasinya bakalan aku kirim. Jangan lupa dandan dan pake baju yang bagus. Make up juga jangan menor. Awas aja ampe menor kayak make up kamu kemaren.” Nathan masih ingat penampilan Bianca saat pertama mereka bertemu. “Iya iya. Ini acaranya santai apa formal? Aku gak mau salah kostum kayak semalam.” Bianca balik mengingatkan Nathan. “Acara jamuan makan ama rekan bisnis aku. Gak terlalu formal.” “Ok, aku ke sana secepatnya.” “Haduh, udah dibawa ke acara bisnis dia,” gumam Bianca pelan sambil meletakkan lagi ponselnya di atas meja. “Bearti harus belanja dong. Jalan yuk?” ajak Silvia pada sahabatnya itu sambil tersenyum lebar. Bianca ikut tersenyum. “Yuk, siapa takut!” Bianca dan Silvia pun segera beranjak dari tempat duduk mereka. Kedua wanita muda itu segera menuju ke area parkir, di mana mobil Silvia berada. Ke mana lagi tujuan mereka kalau tidak ke mall untuk menghabiskan uang para sugar daddy. Aroma wangi uang dan juga barang mewah dari brand mahal kini menyatu di rongga hidung Bianca. Kalau dulu dia selalu menghindari lapak-lapak brand mahal yang tidak akan terjangkau olehnya, kini dia malah keluar masuk tempat itu untuk mencari barang yang dia sukai. Tentu saja kartu sakti dari Nathan membuatnya bebas berbelanja dan menenteng paper bag dengan tulisan brand mahal. Pundak dan dagu Bianca rasanya sedikit naik saat dia berjalan di mall ini. Sentuhan terakhir yang dibutuhkan Bianca sebelum datang ke acara Nathan adalah make up. Dia segera mengunjungi sebuah salon untuk membantunya mempercantik diri. “Asli, cantik banget kamu sekarang, Bi,” puji Silvia memuji penampilan baru Bianca. “Bisa aja. Eh, bisa anter aku ke tempat Nathan gak?” tanya Bianca meminta bantuan temannya. “Gampang, yuk jalan.” Silvia mengantar Bianca ke restoran yang sudah ditentukan oleh Nathan. Untungnya mall tempat mereka membakar uang barusan tidak terlalu jauh dari restoran itu. Bianca segera turun dari mobil Silvia saat dia melihat Nathan juga baru saja datang. Dia menitipkan semua barang belanjaannya pada sahabat kepercayaannya itu. “Mobil siapa itu?” tanya Nathan sambil melihat mobil yang tadi dinaiki Bianca. Bianca menoleh ke belakang sejenak. “Mobil temen aku.” Nathan melihat ke sugar baby-nya. “Kan aku udah kasih kamu mobil. Gak suka ama mobilnya?” “Bukan gak suka. Tapi aku gak bisa nyetir. Jadi mobilnya aku tinggalin di apartemen kamu.” Nathan menghela napas kasar lalu sedikit menggelengkan kepalanya. “Agak beda emang yang satu ini ya. Bim, ajari dia nyetir. Jangan sampe ini jadi masalah!” titah Nathan pada asisten pribadinya. “Baik, Pak.” Nathan segera melangkah masuk ke dalam restoran. Dia segera memilih tempat duduk yang nyaman untuk menjamu rekan bisnisnya. Bianca yang sore ini memakai dress sederhana berwarna hijau mint tampak cantik dengan polesan make up dan tatanan rambut ala salon. Kali ini dia cukup percaya diri duduk di samping sugar daddy-nya. “Kalo mau pesen duluan, pesen aja. Tamuku masih dateng 30 menit lagi,” ucap Nathan sambil menerima buku menu dari pelayan restoran. Bianca menggeleng. “Enggak, tadi barusan makan di kampus. Mau minum aja.” Bianca memilih minuman yang sama dengan Nathan. Sebuah orange jus, cukup manis untuk sore ini. “Penampilan aku bagus gak?” tanya Bianca meminta pendapat sumber uangnya. Nathan mengangguk. “Bagus. Keliatan seger dan muda. Aku suka. Tadi belanja apa aja?” “Kok tau aku belanja?” “Kan tadi pagi aku tinggalin kartu kredit aku. Laporannya masuk ke aku lah.” “Oh iya ya. Cuma belanja peralatan tempur cewek aja sih. Makasih ya atas tinggalannya tadi, Daddy,” ucap Bianca dengan suara memanja dan mengedipkan sebelah matanya pada Nathan. Nathan sedikit terkekeh. “So cute. Aku suka.” Nathan suka dengan sikap natural Bianca meski terlihat sedikit memaksakan diri untuk menjadi genit. Seorang pelayan datang dengan dua gelas jus jeruk di atas nampan yang dua bawa. Ada juga es krim yang sengaja di pesan Nathan untuk sugar baby barunya. “Besok kamu ada kuliah gak?” tanya Nathan sambil melihat Bianca menikmati es krimnya. Bianca menggeleng sambil memegangi sendok es krim yang terjepit di dua bibirnya. “Enggak. Aku seminggu cuma kuliah 3 hari aja.” “Bagus deh kalo gitu. Habis ini ikut aku ke Lembang. Aku pengen glamping.” “A-apa?! Glamping?!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN