“Hai, Bi.”
Suara sapaan seorang pria berhasil membuat Bianca menaikkan pandangannya untuk melihat siapa orang yang menyapanya. Mata Bianca membulat lebar saat dia melihat ada Arga berdiri di depan kursinya sambil tersenyum.
“Kampret! Kenapa aku lupa kalo ada dia di sini. Mati aku!” gerutu Bianca dalam hati.
Silvia melihat reaksi Bianca yang tampak syok melihat Arga. “Bi, kamu kenal dia?” tanya Silvia sedikit berbisik.
“Kenal dong. Kan kami ke –“
“Ikut aku!”
Bianca segera berdiri dan mencengkeram lengan Arga. Tanpa peduli panggilan Silvia karena pergi begitu saja bersama Arga.
Arga hanya tersenyum saja dan pasrah ikut ke mana Bianca membawanya. Dia sangat tahu kalau Bianca sedang panik, karena dia tahu apa yang seharusnya disembunyikan oleh teman sekelasnya itu.
Bianca mengajak Arga ke koridor sempit di dekat ruang kelas. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, untuk sekedar memastikan keadaan aman.
Bianca melihat ke arah Arga yang tampak santai melihatnya sambil tersenyum. Dia tahu, pasti di dalam otak Arga sedang berseliweran ide-ide licik untuk mengancamnya.
“Ga, bisa gak sih kamu bersikap kayak dulu,” ucap Bianca pelan.
“Emang kenapa? Kita kenal kan. Lagian kita juga sekelas. Emang salah kalo aku nyapa temen sekelas aku?” tanya Arga santai sambil menampakkan wajah songongnya.
“Kamu dulu gak pernah nyapa aku, Ga. Bahkan mungkin kamu gak pernah tau kalo aku ada di kelas yang sama ama kamu.”
“Ya emang. Tapi kan sekarang udah berubah.”
“Berubah apanya? Gak ada yang berubah. Plis deh Ga, gak usah aneh-aneh.”
Arga menyeringai. “Ya beda lah. Kan kamu sekarang punya pacar kaya, jadi gak salah dong aku nyapa kamu. Aku liat tadi ada ipon di meja kamu. Apa itu pemberian Nathan setelah kamu dia ajak ke rumahnya kemaren?” tanya Arga yang lebih terdengar seperti sebuah ledekan.
Bianca menjadi kesal pada Arga yang seolah ingin membuat masalah dengan dirinya. Tapi dia juga tidak mungkin membiarkan teman sekelasnya itu membocorkan situasinya sekarang.
“Kamu mau apa sekarang?” tanya Bianca dengan nada serius.
“Mau apa? Emang kamu mau kasih aku apa?” Arga menyeringai yang mendengar pertanyaan Bianca.
“Apa yang kamu mau biar kamu tutup mulut?” tegas Bianca yang sudah super kesal.
Arga tersenyum lebar. “Nah, gitu dong. Kalo kayak gitu kan aku seneng. Aku mau apa ya?” Arga memasang mimik sok berpikir apa yang akan dia minta pada Bianca.
Bianca mendengus kesal melihat tingkah Arga yang terlihat semakin menyebalkan. Satu masalah selesai, kini muncul masalah lagi yang membuat Bianca ingin sekali melayangkan tinjunya pada pria itu.
“Buat sekarang, tolong bantuin aku ngerjain kuis nanti ya.” Arga memasang wajah memelas.
“Gak! Aku gak bisa!” Bianca tudak berminat membagi jawaban kuisnya nanti pada Arga.
“Oh gak mau ya. Ya udah gak papa. Tapi maap ya, kayaknya kamu bakalan jadi topik penting di grup kelas.”
“b******k! Kamu ngancem aku?!” Bianca makin kesal.
“Enggak kok. Mana berani aku ngancem pacarnya Nathan Mahendra. Aku cuma mau bantuin kamu buat nyimpen rahasia dan kamu juga bantuin aku buat ngerjain kuis aku. Gimana? Impaskan?” ucap Arga sambil tersenyum penuh kemenangan.
Bianca memasang wajah kesal mendengar ucapan Arga. Dia mendengus kesal lalu segera pergi meninggalkan Arga dan kembali ke kelasnya.
Arga tertawa melihat Bianca yang kesal kepadanya. Dia kemudian ikut masuk ke kelas, karena sebentar lagi kelas akan di mulai.
Arga melihat ke arah Bianca yang duduk dengan muka cemberut dan melihat keluar jendela. Tampak sekali rasa kesal bercampur marah dari wajah cantik itu.
Tapi tentu saja Arga tidak peduli. Arga malah sengaja berjalan lewat di dekat kursi Bianca lalu mengetuknya sedikit sambil menyeringai senang.
Melihat tingkah aneh Arga dan Bianca, Silvia jadi penasaran. Dia segera menggeser sedikit kursinya, agar bisa mendekati Bianca.
“Bi, si Arga kenapa sih?” tanya Silvia sedikit berbisik.
“Tau ah! Bete aku ama dia!” gerutu Bianca meluapkan kekesalannya.
“Ya tapi kenapa?” Silvia makin penasaran.
“Ntar aja lah. Lagi males cerita!”
Silvia mengangguk. Dia tidak mau mengganggu emosi Bianca yang akan segera menghadapi evaluasi belajar. Dia memilih memendam rasa penasarannya dulu, karena dosen juga sudah masuk.
Dan benar saja, Bianca mengerjakan dua lembar jawaban kali ini. Ada rasa takut juga di hatinya, jika nanti Arga benar-benar akan membongkar rahasianya.
Bianca belum siap mental. Dia belum siap menghadapi pandangan miring dari teman-temannya, meski sebenarnya dia juga mungkin tidak pernah dianggap ada oleh mereka.
“Bi, kamu kenapa sih sama Arga. Tumben banget dia tadi deketin kamu?” tanya Silvia yang ingin memuaskan rasa penasarannya.
Bianca mengaduk minumannya lalu menyeruput minuman dingin itu untuk menyegarkan tenggorokannya. “Dia masalah baru buat aku,” jawab Bianca sambil menyenderkan punggungnya di kursi kantin kampus.
“Masalah. Masalah gimana sih. Emangnya kamu pernah deket ama dia?” Silvia makin tidak paham.
“Bukan gitu.” Bianca melihat ke sekitar, lalu mencondongkan badannya agar bisa mendekat ke sahabatnya. “Dia itu ... dia itu sepupunya Nathan,” bisik Bianca.
“Sepupunya Nathan?” Jeda sejenak karena Silvia memikirkan nama yang baru saja di sebut Bianca. “Haah! Sugar daddy-mu?”
“Hust! Bisa diem gak! Kenceng banget ngomongnya!” Bianca melempar Silvia dengan kulit kacang.
“Eh, sorry-sorry. Tapi beneran itu mereka sepupuan. Kok kamu bisa tau sih?”
“Kita ketemu di rumah Nathan kemarin. Sumpah, aku kaget banget tau gak. Udah di sana aku dibuat malu banget ama si Nathan rese itu, eh ... pake ketemu dia juga. Makin kesel kan aku.”
“Oh, jadi ini alasan kamu ngerjain punya dia juga tadi ya. Dia ngancem kamu ya.”
“Ya pasti lah. b******k emang tu orang!”
“Halo, Bi.” Arga tiba-tiba muncul dan duduk di kursi kosong di meja Bianca.
Tentu saja Bianca dan Silvia langsung kaget dengan kemunculan Arga di meja mereka. Kedua wanita itu hanya bisa menatap Arga yang sedang memamerkan senyum lebar, tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Arga tahu kalau Bianca pasti tidak menyangka kalau dirinya akan datang lagi. Tentu saja, mendapatkan satu bantuan dari murid terpintar di kelasnya itu tidak akan cukup.
“Mau apa lagi kamu?” tanya Bianca dengan ketus.
“Heei, jangan jutek gitu dong. Kan kita bentar lagi mau jadi sodara,” ledek Arga.
“Gak usah banyak omong deh, Ga. Kamu mau ngapain lagi sih!” Silvia juga ikut kesal pada Arga.
Arga menoleh ke arah Silvia. Dia selama ini juga tidak pernah melihat Silvia di kelasnya. Tapi baru sebentar saja melihat penampilan Silvia, Arga bisa menebak kalau kedua wanita di depannya itu memiliki profesi yang sama.
“Bi, tugas dari Bu Anggi udah kamu kerjain belum?” tanya Arga yang lebih tertarik berurusan dengan Bianca.
“Belum. Emang kenapa? Jangan bilang kamu minta aku ngerjain punya kamu juga.”
“Nah, tu tau. Emang gak salah sih kalo punya temen pinter, pas –“
“Aku gak mau! Kerjain sendiri!” Bianca menolak dengan tegas.
Mimik wajah Arga berubah mengetat. Senyum yang tadi selalu menghiasi bibirnya, kini mendadak menghilang.
“Gak mau? Ooh, bearti kamu lebih suka kalo ak –“
Suara dering ponsel membuat Arga menghentikan kalimatnya. Matanya langsung tertuju pada ponsel Bianca yang menyala dan menampilkan nama seseorang.
“Daddy?” ucap Arga membaca tulisan di layar ponsel Bianca yang tidak lama kemudian membuat senyum Arga kembali merekah lebar.