“Bawa kartu debit di atas meja. Itu buat buang jajan kamu,” ucap Bianca saat dia membaca surat yang ditinggalkan Nathan untuk dia.
Bianca melirik ke arah kartu sakti berwarna abu tua itu sambil tersenyum. “Dia beneran nepatin janjinya.” Bianca mengambil kartu itu dan melihat ada rangkaian kombinasi angka yang tertulis di atas kertas yang ada di bawahnya.
Bianca kembali melihat ke surat di tangannya. “Uang 500 juta ada di paper bag. Cepet bayar utangnya, aku gak mau kamu ntar kebanyakan alasan lagi.”
“Buset! Duit 500 juta di taroh di paper bag. Udah kayak barusan belanja duit aja dia,” gumam Bianca yang langsung memeriksa isi paper bag yang ada di samping meja.
Bianca tersenyum sendiri sambil menggelengkan kepalanya melihat gaya hidup orang kaya. Padahal tadi malam dia dan Nathan tidak pergi ke ATM sama sekali, tapi pagi ini sugar daddy-nya itu sudah bisa menyediakan uang tunai 500 juta.
Bianca menutup kembali paper bag itu lalu segera mengambil lagi kertas putih berisi surat Nathan yang tadi dia lepas begitu saja untuk memeriksa uangnya. Tentu saja dia ingin membaca sisa isi surat yang masih menyisakan beberapa kalimat lagi.
“Di parkiran ada BMW putih, kuncinya ada di gelas besar di samping TV. Itu juga buat kamu.”
“Mobil?” Bianca menoleh ke tempat yang disebut Nathan untuk menyimpan kuncinya.
Bianca kembali melihat ke kertas putih di tangannya. “Beli baju dan sepatu bagus. Awas aja kalo penampilan kamu norak dan malu-maluin kayak pas dateng ke bar kemaren. Itu ada ponsel baru buat kamu. Udah ada nomorku dan panggilan cepat nomer 1 itu milikku. Jangan pernah menolak panggilanku. Kamu adalah sugar baby nomer 5.”
Bianca mengangkat pandangannya. “Jadi beneran ya dia punya banyak sugar baby. Buat apaan sih sugar baby sebanyak itu. Bukannya itu malah buang-buang duit ya,” gumam Bianca yang masih tidak mengerti karakter dari sugar daddy-nya.
“Bodo ah! Yang penting dia udah beneran nepatin janjinya.”
Bianca meletakkan lagi surat Nathan di atas meja. Dia kemudian mengambil ponsel pemberian sang sugar daddy.
Sebuah ponsel mahal keluaran terbaru dengan simbol buah apel tergigit itu kini dia pegang. Merek ponsel seperti yang dimiliki oleh sebagian besar teman-temannya demi mendukung penampilan mereka, kini juga dia miliki.
Hidup Bianca seolah sudah berubah dengan sangat cepat. Masih serasa hidup di alam mimpi, Bianca sengaja mencubit lengannya sendiri.
“Ackh! Sakit ih. Ya ampun berarti aku gak lagi mimpi. Pantes aja Silvia betah banget jadi sugar baby,” gumam Bianca sambil menyimpan barang-barang pemberian Nathan ke dalam tasnya.
Saat Bianca sibuk menata isi tasnya, tiba-tiba ada pesan masuk di ponsel lamanya. Ternyata itu adalah para rentenir yang menagih janji Bianca untuk membayar hutang kakaknya. Merasa sudah memegang uang untuk membayar hutang, Bianca segera membuat janji temu dengan para rentenir, agar mereka tidak mengejarnya terus.
Bianca memutuskan pulang dengan memakai baju tidurnya semalam. Akan sangat aneh kalau dia pulang dengan baju ketat yang dia pakai kemarin.
Setelah memastikan tidak ada barang yang tertinggal, Bianca segera pergi meninggalkan apartemen mewah itu. Dia akan menyelesaikan kemelut hidupnya yang membuat dia sampai berakhir di kehidupan Nathan.
“Sil,” panggil Bianca yang melihat sahabatnya itu berjalan menuju ke rumahnya.
Silvia menoleh dan melihat ada Bianca dengan penampilan berantakan khas bangun tidur turun dari mobil. Dia melihat Bianca juga berjalan sedikit tergopoh-gopoh setelah dia membayar uang taksinya.
“Ayo masuk,” ajak Bianca yang kemudian segera berjalan lebih dulu untuk membuka pintu.
Silvia segera menyusul langkah Bianca. “Bi, kamu dari mana sih. Dari kemaren kamu gak ada kabar.”
“Panjang ceritanya.” Bianca membuka gorden rumahnya lalu mengintip di sela gorden tipis yang selalu menutupi jendela besar depan rumahnya.
“Ada apaan sih?” Silvia merasa gelagat Bianca sedikit aneh.
“Ini apaan?” Silvia membuka paper bag yang tadi di bawa Bianca.
“Uang?!” Silvia mengangkat wajahnya melihat ke arah sahabatnya. “Bi, uang apa ini ... kok banyak banget. Kamu gak nyuri uang kan?” tanya Silvia kaget dengan banyaknya tumpukan uang berwarna merah dalam sebuah paper bag.
“Ngawur aja! Sini ikut.”
Bianca mengajak Silvia masuk ke dalam kamarnya. Dia menyimpan uang pemberian Nathan ke dalam lemari bajunya lalu segera merebahkan diri di atas kasur. Punggungnya masih sedikit sakit, setelah semalam dia hanya tidur di atas karpet bersama dengan sang sugar daddy.
Silvia yang penasaran dengan apa yang terjadi pada sahabatnya itu segera memberondong Bianca dengan banyak pertanyaan.
“Jadi kamu kemaren di ajak ke rumah orang tuanya. Eh bentar, kok orang tua sih, emang sugar daddy kamu umur berapa?” tanya Silvia sedikit aneh.
“Berapa ya.” Bianca melihat ke atas dengan sudut matanya. “Kayaknya 30an gitu sih,” lanjut Bianca menerka umur Nathan.
“Seriusan umur segitu?!” Tentu saja Silvia kaget karena usia sugar daddy-nya sudah kepala 5 dan pantas jadi ayahnya.
“Beruntung banget kamu, Bi.” Ada nada iri di suara Silvia, karena Bianca mendapat sugar daddy atau mungkin lebih tepat di sebut seorang cassanova.
“Beruntung apanya. Orangnya aneh tau.”
“Aneh? Aneh gimana maksudnya?”
Bianca segera menceritakan juga sikap Nathan yang menurutnya aneh dan benar-benar tidak seperti para eksekutif muda di drama maupun novel yang dia baca.
Silvia mendengar cerita sahabatnya itu dengan setengah hati. Rasa iri dan kesal tumbuh dalam hatinya, karena seharusnya dia yang mendapat sugar daddy seperti Nathan.
Meski dia juga diberi fasilitas mewah seperti Bianca oleh Wisnu, tapi tetap saja Wisnu adalah bandot tua yang genit. Silvia merasa risih setiap kali kulitnya yang masih sangat muda itu disentuh oleh tangan keriput milik Wisnu.
Saat sedang asyik bercerita, pintu rumah Bianca di ketuk. Si pemilik rumah yang sudah tahu siapa tamu yang datang segera menyiapkan uang yang tadi dia bawa untuk dia berikan pada rentenir itu.
“Lega banget dah. Akhirnya aku bebas dari rentenir gila itu,” ucap Bianca sambil menjatuhkan tubuhnya lagi di atas kasur.
“Iya. Keputusan kamu tepat buat jadi sugar baby. Eh Bi, kenapa kamu ninggalin mobilnya di sana? Kamu gak mau di kasih mobil itu?” tanya Silvia.
Bianca bangun dari rebahannya lalu duduk sambil bersila. “Gimana mau bawa mobilnya. Aku gak nyetir mobil, say. Masa aku dorong mobilnya sampe ke rumah. Ya gempor lah aku.”
Silvia tertawa. “Iya juga ya. Ya udah mandi sana. Ntar telat ikut ujian loh.”
“Aku mandi dulu ya. Oh ya, ntar anterin bayar uang semester ya.” Bianca segera melangkah menuju ke kamar mandi.
“Beres. Buruan ah!”
Sambil menunggu sahabatnya bersiap ke kampus bersama, Silvia merebahkan diri di atas kasur. Pandangannya menembus lurus ke langit-langit kamar Bianca sambil memikirkan sesuatu.
“Nathan. Namanya aja keliatan bagus, pasti orangnya juga ganteng. Kalo dua ganteng dan kaya, ngapain ya dia cari sugar baby? Jadi penasaran aku,” gumam Silvia sendirian.
***
“Akhirnya kelar juga masalahnya. Aku bisa kuliah dengan santai sekarang,” ucap Bianca setelah dia keluar dari ruang administrasi kampus.
“Iya. Seneng liat kamu balik senyum gini lagi. Mau ke kelas apa jajan dulu?” tanya Silvia yang ikut tersenyum.
“Ke kelas aja ya. Jajannya ntar aja abis kuis. Ntar aku yang traktir.” Bianca terkekeh karena dia sudah sanggup mentraktir sahabatnya.
“Percaya deh percaya. Yuk ah!” Silvia juga ikut tertawa.
Bianca dan Silvia segera berjalan menuju ke kelas mereka. Karena semalam dia tidak belajar, Bianca harus sedikit membuka bukunya dulu untuk mengingat kembali pelajaran yang akan diujikan hari ini.
Bianca memilih kursi dekat dengan jendela, karena dia ingin mendapat pemandangan bagus di luar sana saat dia berpikir nanti.
“Hai,” sapa seseorang di depan Bianca.
Bianca menaikkan pandangannya. Matanya bergetar melihat sosok yang ada di depannya.