Bianca terus menunggu apa yang akan di katakan Nathan. Tepatnya apa yang akan diminta oleh sugar daddy-nya itu.
Tatapannya terus terarah ke Nathan, sekaligus waspada, siapa tahu pria di depannya itu kalap dan menerkamnya. Meski itu sudah wajar dilakukan oleh seorang sugar daddy, tapi setidaknya, Bianca berharap kalau Nathan tidak mengingkari ucapannya sendiri.
“Aku minta kamu tetep polos gini. Jangan kebanyakan tingkah apa lagi ngebantah. Dan lagi jangan pernah ngeliat aku dengan pandangan kesal apa lagi kasihan. Aku gak suka,” ucap Nathan menjelaskan permintaannya.
Bianca sedikit memiringkan kepalanya. “Trus aku harus gimana? Masa aku harus pura-pura suka terus ama apa pun yang kamu lakukan.”
“Iya, mending gitu. Setidaknya aku gak liat kamu ngeliat aku dengan tatapan kebencian. Aku udah keluarkan uang banyak buat kamu.” Nathan menjeda sedikit ucapannya sambil menoleh ke Bianca. “Setidaknya kamu harus bersikap baik ama aku. Bener kan?”
“Oh ya, aku juga suka dipuji. Suka banget. Jadi jangan ragu kalo mau puji aku. Itu bakalan bisa bikin daddy kamu seneng loh.” Nathan menambahkan lagi.
“Di puji? Di puji soal apa?” tanya Bianca ingin kejelasan agar dia ditidak salah.
Nathan menghela napas lalu kembali melihat ke televisi. “Apa pun. Boleh penampilan, boleh prestasi kerja. Ato pujian untuk merayu demi meminta sesuatu. Kayak gitu lah pokoknya.”
Bianca mengangguk. “Ok, aku ngerti.”
“Trus kamu mau minta apa dari aku?” kali ini gantian Nathan yang ingin tahu keinginan Bianca selama menjadi sugar baby-nya.
“Uang 500 juta. Buat bayar utang,” jawab Bianca yang kesal karena Nathan terus saja menanyakan hal yang sama.
Nathan sedikit melirik ke arah Bianca. “Bukan itu. Kalo itu pasti aku kasih. Maksud aku yang lain. Kayak uang belanja, skincare, uang liburan ke luar negri ato apa gitu. Bilang aja, aku bakalan penuhi.”
Bianca melihat ke arah Nathan. Dia melihat pria muda itu tampak santai saja mengatakan beberapa pengeluaran berjumlah besar para kaum jetset itu.
Memang tidak diragukan sih kalo Nathan pasti uangnya sangat banyak. Selain apartemennya bagus, dia bahkan sanggup memelihara beberapa sugar baby juga.
“Uang kuliah,” jawab Bianca ragu.
“Hem. Apa lagi?” tanya Nathan tanpa mengalihkan pandangannya dari televisi.
“Emm, gak ada sih.”
Nathan berhasil dibuat menoleh lagi oleh sugar baby-nya yang satu ini. “Gak ada lagi? Uang biaya hidup ama uang jajan emangnya kamu gak perlu? Katanya kamu idup sendirian.”
“Ya kan semua masih bisa aku cukupi lewat kerja aku.”
“Gak ada! Mulai sekarang kamu gak boleh kerja lagi. Kamu kuliah aja dan siapkan waktu sebanyak-banyaknya buat aku. Siapa tau aku butuh, kamu harus selalu siap.”
Bianca mengangguk berulang kali. “Ok. Tapi janji ya kamu bakalan penuhi semua kebutuhan hidup aku. Banyak loh biaya idup aku. Tapi paling banyak buat biaya kuliah sih.”
“Iya. Apa lagi yang kamu butuhkan? Tas, sepatu ato mungkin hp baru.”
Bianca menoleh perlahan ke arah sugar daddy-nya. Dia tidak melihat ada perubahan mimik wajah pada paras tampan itu.
Tampaknya Nathan sudah biasa memanjakan para wanita koleksinya dengan banyak harta, sehingga ini bukan hal aneh lagi buat dia. Tapi tentu saja hal itu tidak lantas membuat Bianca silau. Dia tetap ingin menjadi Bianca yang biasa saja seperti biasanya.
Hanya biaya hidup dan uang kuliah tentu saja itu bukan hal yang sulit buat Nathan. Dia bahkan bisa menghidupi lima sugar baby saat ini. Dan mengeluarkan uang itu, hanya seperti sedang menjentikkan jarinya saja.
“Eh Bi, gimana kalo kita nikah aja?”
Ucapan Nathan itu sukses membuat Bianca melotot karena kaget. Dia tidak menyangka kalau kata-kata itu akan meluncur dengan mudahnya dari bibir Nathan.
“Gak mau! Jangan gila kamu ya!” Bianca menolak mentah-mentah usul Nathan.
“Emang kenapa? Kalo kita nikah kan enak. Kamu gak perlu lagi tinggal di rumah mini kamu itu dan juga jadi sugar baby. Hidup kamu bakalan nyaman dan terjamin.”
“Gak. Aku gak mau. Aku masih mau belajar.”
“Aku gak nyuruh kamu putus kuliah loh. Aku cuma nyuruh kamu nikah ama aku.”
“Gak mau. Pokoknya gak mau! Umur aku aja masih belum genap 21 tahun, kok udah di suruh nikah. Gak mau. Aku gak mau!” Bianca menolak dengan tegas.
“Tapi hidup kamu bakalan jadi perhatian keluarga aku. Kamu gak akan bisa hidup bebas kayak biasanya.” Nathan sedikit mencondongkan badannya ke arah Bianca. “Mereka akan mengawasi kamu dengan ketat.” Nathan kembali menegakkan tubuhnya seperti tadi.
“Ih, kamu jangan nakutin aku lah.” Bohong kalau Bianca tidak takut sekarang setelah mendengar ucapan Nathan.
“Aku gak nakutin. Tapi kan kamu denger sendiri apa yang papa aku bilang tadi di rumah. Kita akan di perhatikan ama mereka.”
“Sugar baby kamu lainnya gimana?” tanya Bianca sambil menatap cemas ke Nathan.
“Gimana apanya? Mereka biasa-biasa aja. Dan papa mama aku juga gak percaya kalo mereka pacar aku.”
“Di awasi juga?”
Nathan menoleh ke arah Bianca lalu dia menoleh.
Habislah sudah. Baru saja sehari menjadi sugar baby, kini hidup Bianca sudah seperti seorang tawanan. Dia akan diawasi oleh keluarga kaya yang tidak pernah dia kena sama sekali.
“Trus aku gimana?” tanya Bianca pasrah.
“Ya biasa aja. Jalani semua kehidupan kamu seperti biasanya. Tentunya gak pake kerja part time itu ya. Dan kalo nanti kalo ada orang yang mencurigakan dan ngikutin kamu, kamu harus langsung telpon aku.”
“Bearti kita kayak gini terus selama tiga bulan dan kita bakal jadi kayak pasangan gitu?”
“He em.”
“Kalo aku di tanya hubungan kita apa, aku harus jawab apa? Pacar kamu ato tunangan kamu?”
“Gak usah jawab. Kamu cukup diam dan berdiri di samping aku. Biat aku yang urus semuanya.”
“Tapi ka—“
Nathan menoleh ke Bianca. “Gak usah terlalu takut. Mereka gak akan maksain kita nikah. Yang ada paling kita di suruh putus. Karena mereka gak akan mungkin ambil mantu sembarangan.”
Bianca menganggukkan kepalanya tanda dia mengerti. Memang benar apa yang dikatakan Nathan. Tidak mungkin keluarga kaya raya itu akan sembarangan memilih menantu.
Ada sedikit rasa lega di hati Bianca. Setidaknya dia hanya perlu bertahan selama tiga bulan saja dan tidak perlu banyak bertindak. Hanya perlu diam dan melapor saja pada Nathan.
“Udah malam. Kita tidur di sini,” ucap Nathan sambil mematikan siaran televisi.
“Di sini? Kenapa gak di kamar aja. Itu ada kamar.”
“Kamu mau tidur satu kasur sama aku?”
“Heh?! Gak. Gak mau! Kita tidur di sini.”
Bianca langsung merapikan bantal untuk dia tidur. Bianca juga menutupkan selimut tipis yang sudah di sediakan lalu tidur membelakangi Nathan.
Nathan yang sudah mengantuk pun juga langsung memejamkan matanya. Dia langsung lelap dalam tidurnya karena besok dia harus pergi bekerja.
Kilatan sinar matahari bermain-main di wajah Bianca. Sinar malu-malu itu bermain dengan gorden, meminta Bianca agar segera bangun.
Bianca menggeliat, meluruskan otot dan tulangnya yang sedikit sakit karena semalam dia tidur di atas karpet.
Wanita cantik itu menoleh ke belakang. Sudah tidak ada Nathan di sana. Apartemen juga terlihat sepi, sepertinya sang pemilik sudah berangkat ke kantor.
“Kok dia gak bangunin aku sih,” gumam Bianca sambil merapikan selimutnya.
Mata Bianca terhenti pada selembar kertas putih yang ada di atas meja. Selain kertas, di sana juga ada segelas jus jeruk serta sepotong roti lapis. Karena penasaran, Bianca pun segera mendekati meja, ingin tahu apa yang ditinggalkan Nathan untuknya.