Bab 12. Dijemput

1255 Kata
Seorang pria muda dengan setelan jas warna hitam turun dari dalam mobil. Pria itu menatap ke arah Bianca lalu ke arah Arga. Bianca melihat ke arah pria muda yang belum pernah dia lihat itu. Tapi tampaknya pria itu mengenali dirinya dan juga Arga. Arga mencondongkan tubuh ke depan, mendekati Bianca. “Matilah kamu, Bi,” bisik Arga. “Itu orangnya Om Beni,” lanjut Arga sambil melepas seringai. Bianca sontak menoleh ke arah Arga. “ Om Beni?” Tatapan mata Bianca berubah. “Selamat siang. Bianca, silakan ikut saya. Bu Ivana sedang menunggu,” ucap pria itu di depan Bianca. “Bu Ivana?” ucap Bianca pelan lalu mengalihkan pandangannya ke arah mobil mewah itu. Tampaknya kaca hitam mobil itu menyimpan sesosok manusia yang kemarin baik kepadanya. Kemarin memang baik, tapi belum tentu saat ini juga akan baik. Mengingat ucapan Nathan kemarin, tampaknya keluarga Nathan benar-benar akan mengawasinya. Bianca hanya bisa menelan ludahnya kasar, lalu melihat ke arah pria penjemputnya lagi. “Sekarang?” Sebuah pertanyaan bodoh, meluncur tiba-tiba dari mulut Bianca. “Iya. Bu Ivana sudah menunggu.” “Udah sana pergi,” ucap Arga sambil sedikit mendorong punggung Bianca. “Eh, apaan sih!” Bianca melihat ke arah Silvia yang sedari tadi melihat ke arahnya, lalu dia kembali melihat ke arah pria itu. “Baiklah.” Pasrah. Tentu saja dia hanya bisa melakukan itu. Bianca tidak ingin terlihat berusaha mencari alasan untuk menghindari Ivana. Meski dia takut dan gelisah apa yang akan ditanyakan oleh Ivana, tapi dia tidak bisa lari lagi, karena pasti sejak tadi Ivana melihatnya dari dalam mobil. Pria berbadan tegap itu memimpin jalan Bianca untuk berjalan menuju ke arah mobil. Dia kemudian membukakan pintu mobil agar Bianca bisa masuk. Bianca menganggukkan kepalanya saat dia melihat ada Ivana duduk di dalam mobil. Seperti biasanya wanita itu selalu tampak sangat anggun dan juga ramah dengan senyum yang tampak sangat tulus. “Selamat siang, Tante,” sapa Bianca sambil mencoba tersenyum. “Siang. Saya ganggu kamu gak, Bi? Saya pengen ajak kamu makan siang,” tanya Ivana. “Enggak kok, Tan. Saya udah gak ada jam kuliah abis ini.” “Baguslah kalo gitu. Jalan, Pak.” Ivana memberi perintah pada sopirnya. Mobil pun segera melaju meninggalkan kampus Bianca. Mereka akan makan siang, di tempat yang pastinya sudah di pilih oleh Ivana. Keringat Bianca mengucur di kening wanita itu. Meski udara di mobil itu cukup dingin, tapi tetap saja tidak bisa menghilangkan rasa grogi di d**a Bianca. “Kamu kenal sama Arga, Bi?” tanya Ivana yang tadi melihat ada keponakannya di sana. “I-iya, Tan. Kami sekelas,” jawab Bianca yang sangat canggung. “Ohh, baru tau saya. Kok Arga gak cerita ya. Tapi gak papa lah. Eh iya, kamu pengen makan apa?” “Apa aja, Tan. Saya ikut apa kata Tante aja.” “Ok. Kayaknya deket sini ada restoran sushi yang enak deh. Kita ke restoran sushi ya, Pak. Yang deket sini aja,” pinta Ivana pada sopirnya. “Baik, Bu.” Keadaan di dalam mobil kembali sunyi. Ivana sedang sibuk membalas pesan yang masuk ke dalam ponselnya yang otomatis membuat Bianca diam dan memilih melemparkan pandangannya keluar mobil. Tak lama kemudian mobil berhenti di depan sebuah restoran sushi. Dua orang wanita yang duduk di belakang sejak tadi itu, keluar dari mobil lalu segera masuk ke dalam restoran. “Mau pesen apa, Bi? Pesen dan pilih sendiri ya, jangan sungkan,” tanya Ivana sambil memeriksa isi buku menu yang ada di tangannya. “Iya, Tante,” jawab Bianca yang kemudian segera memilih makan siang yang dia inginkan. Dua orang wanita itu sudah selesai memesan makanannya. Kini Bianca menjadi canggung dan bingung lagi, sejauh mana dia diizinkan akrab dengan mama sugar daddy-nya. “Kamu udah semester berapa, Bi?” tanya Ivana membuka obrolan. “Ini udah masuk tahun ketiga, Tan. Udah masuk semester 6,” jawab Bianca mencoba lebih santai. “Oh gitu. Trus prestasi kamu gimana? Bagus dong pastinya.” Bianca tersenyum. “Saya bisa masuk ke kampus ini lewat jalur beasiswa, Tan. Jadi nilai saya sejak awal sudah di atas rata-rata.” Bianca sedikit memamerkan otak encernya. “Wah, bagus dong. Bearti sampe sekarang masih dapet beasiswanya?” “Enggak, Tan. Gak tau kenapa, tiba-tiba aja beasiswa saya di cabut semester ini. Padahal semester lalu IPK saya mendekati sempurna. Tapi gak tau deh, tiba-tiba di cabut.” “Loh, kok gitu? Kamu gak tanya alasannya?” Ivana tertarik dengan cerita Bianca. “Udah, Tan. Tapi di jawabnya tuh cuma gak tau gak tau aja terus.” “Kok gitu sih. Padahal ini kan penting buat kamu. Ntar coba Tante tanyain ya.” “Gak usah, Tan. Saya gak papa kok.” Bianca menghargai bantuan Ivana. Makanan pesanan dua wanita itu datang. Mereka membiarkan pelayan untuk menata makanan dulu di atas meja. “Makan, Bi. Santai aja, abisin ya.” Bianca menyuruh Bianca menikmati makanannya. “Orang tua kamu kerja di mana, Bi?” tanya Ivana. “Dulu papa punya percetakan. Gak besar sih, tapi pelanggannya banyak dan bisa mencukupi kehidupan kami satu keluarga.” “Oh gitu. Terus sekarang masih jalan percetakannya. “Udah gak, Tan. Sejak papa meninggal, kami menjual percetakan buat menyambung hidup.” Ivana mengangkat pandangannya. “Papa kamu udah meninggal?” Suara Ivana tidak bisa menyembunyikan rasa kagetnya. “Iya, Tan. 3 tahun lalu papa meninggal.” “Lalu mama kamu?” “Mama udah meninggal lebih dulu waktu Bianca masih kecil.” “Oh, udah meninggal semua ya. Trus kamu di sini tinggal sama siapa?” “Tinggal sendiri, Tan. Uang jual percetakan, kami belikan rumah sederhana dan untuk biaya hidup.” “Kamu gak punya sodara?” “Saya punya kakak. Tapi sekarang gak tau dia di mana. Dia kabur dari rumah beberapa waktu lalu.” Ivana menatap Bianca dengan banyak pertanyaan tambahan yang muncul tiba-tiba setelah mendengar jawaban Bianca. Tapi baru melihat Bianca dan mencerna setiap jawaban yang tadi dia dengar, Ivana menjadi ragu untuk melanjutkan pertanyaannya. Bianca hanya bisa tersenyum canggung saat tatapan matanya bertemu dengan Ivana. Dia tidak bisa menebak, apa kira-kira yang sedang ada di pikiran wanita paruh baya itu. “Kakak kamu pergi dari rumah kenapa, Bi?” tanya Ivana lagi. “Kelilit utang, Tan.” Seketika itu juga tatapan mata Ivana ke Bianca langsung berubah. Tampaknya dia ingin mengatakan pada Bianca untuk tidak dekat dengan putranya, karena dilihat dari segi mana pun, Bianca dan Nathan sangat jauh berbeda. Tapi Bianca tidak ingin ambil pusing. Dia tidak mau terbawa suasana, karena sejak awal dia hanyalah sugar baby dan harus berpura-pura menjadi kekasih Nathan. Ivana tidak banyak bertanya lagi pada Bianca. Dia juga mempercepat pertemuan itu dengan alasan kalau dia ada janji dengan orang lain. “Bi, kamu gak papa pulang sendiri?” tanya Ivana sebelum dia pergi. “Gak papa, Tan. Saya bisa panggil ojek online nanti,” jawab Bianca sambil tersenyum. “Oh gitu, ya udah kalo gitu. Tante tinggal duluan ya, Bi. Biar Tante yang bayar semuanya.” Bianca mengangguk sambil tersenyum canggung. “Iya, Tan. Makasih.” Ivana pun segera mengambil tas mewahnya, lalu pergi meninggalkan Bianca yang masih akan melanjutkan makan siangnya. Maklum, makanan Bianca masih agak banyak, sayang kalau di buang. Tak usah di tanya apa hasil wawancaranya dengan Ivana. Dari raut wajah wanita itu, tampak sekali kalau dia sudah dicoret dari daftar calon mantu keluarga itu. “Bener kata Nathan, keluarga itu gak akan dengan mudah nguruh kami nikah. Duh, jadi kangen sama Daddy,” ucap Bianca sendirian. Tak lama berselang, ponsel Bianca berbunyi. Sebuah pesan masuk ke dalam ponsel Bianca.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN