Bab 11. Sedan Hitam

1218 Kata
“Tanyakan sendiri pada Pak Nathan,” jawab Bima sambil menekan pedal gas lebih dalam. Bianca sedikit mendengus karena dia tidak mendapat jawaban yang dia inginkan. “Kayaknya kamu tau banyak soal Nathan. Trus kenapa gak mau jawab soal ini?” Bianca mencoba membujuk agar Bima buka mulut. “Saya gak punya hak buat jawab. Ini masalah yang terlalu pribadi.” “Tapi kamu tau alasannya?” Hening. Suara Bima yang tadi sangat banyak, bahkan sangat lancar menceramahi Bianca, kini menghilang. Tampaknya pria itu sangat menjaga rahasia atasannya. Ingin tidak penasaran karena bukan urusannya, tapi tetap saja rasa penasaran itu mengulik hati Bianca. Sangat tidak bisa dipercaya, kalau pria seperti Nathan yang penuh pesona tidak pernah pacaran. Ya kecuali dia sedikit tidak normal tentunya. “Nathan bilang dia gak pernah pacaran selama ini. Bener ya dia gak pernah pacaran?” Bianca tidak menyerah ingin mengorek keterangan dari Bima. “Iya.” Sebuah jawaban singkat dan jelas keluar dari mulut Bima. “Masa sih? Kayaknya gak mungkin deh.” Bianca sedikit mencondongkan badannya ke depan. “Tapi dia normal kan?” tanya Bianca sambil berbisik. “Jangan kurang ajar kamu! Pak Nathan normal. Dia punya standar wanita yang tinggi seperti Bu –“ Tiba-tiba ada rem di mulut Bima. “Bu? Bu siapa?” Bianca terus mengejar Bima. Tapi asisten pribadi Nathan itu hanya diam. Dia kembali hening dan konsentrasi ke jalanan. Bianca menghela napasnya. Setidaknya dia tahu kalau ada wanita yang membuat Nathan jatuh cinta. Tapi entah apa alasannya, sampai Nathan malah memilih memelihara banyak sugar baby, dari pada bersama dengan wanita itu. “Berhenti di depan bentar. Aku laper,” pinta Bianca yang melihat ada sebuah minimarket. Bima segera membelokkan mobil ke area parkir minimarket itu. Bianca pun segera mengambil dompetnya dan turun dari mobil. Saat sudah sampai di depan pintu minimarket, Bianca berjalan lagi ke arah mobil. Dia mengetuk kaca pintu mobil Bima. “Apa?” tanya Bima setelah menurunkan kaca mobil. “Mau titip apa?” tanya Bianca menawarkan. “Roti, 2 buah kopi kaleng, sosis panggang rasa pedas, ramen kuah. Sama camilan. Jangan lupa ramennya masak sekalian dan kasih keju. Oh ya, air mineral juga,” jawab Bima mengabsen dengan lancar semua pesanannya. “Waah, banyak banget,” ucap Bianca yang merasa takjub dengan Bima yang memesan tanpa ragu kepadanya. “Kenapa? Bukannya tadi kamu yang nawarin. Lagi pula, uang yang kamu kan banyak. Uang dari Pak Nathan.” “Iya sih. Dan kayaknya kamu belum di gaji Nathan setahun ya. Uang Nathan abis buat sugar baby-nya,” jawab Bianca sambil menggelengkan kepalanya lalu segera kembali melangkah ke supermarket. Bianca mengambil keranjang, lalu dia mulai mengambil barang pesanan Bima. Tampaknya pria itu memang sangat lapar, karena pagi-pagi dia sudah ada di Lembang dari Jakarta. Sepertinya Nathan adalah atasan yang cukup merepotkannya. Bianca membuka dompet untuk membayar. Ternyata di dalam dompetnya, sudah terselip beberapa lembar uang lembar merah. Sepertinya Nathan telah mengisi dompetnya tanpa dia ketahui. “Nabung, Bi. Nabung dulu sebelum di pecat,” gumam Bianca sambil menunggu ramennya masak. Bianca memilih .eja yang berbeda dengan Bima untuk menikmati sarapannya. Dia malas bertanya atau mendengar ceramah tidak penting dari Bima. Usai makan, Bima segera kembali melajukan mobilnya menuju ke Jakarta. Hari ini dia harus bekerja, meski dia sangat mengantuk. Maklumlah, dia semalam berangkat ke Bandung pukul 2 dini hari. “Aku udah daftarkan kamu kursus mengemudi. Nanti atur jadwalnya sendiri dengan orangnya,” ucap Bima sebelum dia pergi meninggalkan rumah Bianca. “Harus banget ya,” jawab Bianca malas sambil menerima dan membaca nama di kartu nama itu. “Harus. Pak Nathan sudah belikan kamu mobil. Jangan buat beliau kecewa. Saya pergi.” Belum sempat Bianca menjawab, kaca mobil Bima langsung tertutup dan mobil itu pergi begitu saja. Bianca hanya menggeleng lalu segera masuk ke dalam rumahnya untuk istirahat. *** Seminggu ini ponsel Bianca sedikit sepi. Tidak ada telepon atau pesan masuk dari Nathan. Hidup Bianca kembali biasa saja. Tentu saja kemewahan yang diberikan Nathan masih bisa dia rasakan, bahkan kini Bianca sedang rutin belajar menyetir, berharap bisa menikmati mobil mewah pemberian sugar daddy-nya. “Bi, ada kafe baru. Pulang kuliah ke sana yuk,” ajak Silvia. “Boleh. Aku juga laper,” jawab Bianca tanpa memindahkan pandangannya dari laptop yang ada di depannya. “Eh Bi, Nathan beneran gak hubungin kamu ya.” “Gak.” “Semalam aku di telpon Om Wisnu. Katanya dia ketemu sama Nathan. Dia lagi ama cewek lain.” Silvia melapor. “Ama koleksinya yang lain.” Silvia melihat ke arah sahabatnya. “Kamu gak cemburu?” Bianca mengangkat pandangannya. “Cemburu? Sil, emang kamu pernah cemburu ama Om Wisnu?” tanya Bianca balik. “Yee ... iku kan beda suasana. Masalahnya Nathan ini muda dan kata kamu suka ngegombal. Emang gak pernah gitu kamu terlena ama gombalan dia?” Bianca kembali melihat ke arah layar laptop lalu menggeleng. “Gak. Aku ama dia cuma ada hubungan pekerjaan. Hubungan simbiosis mutualisme.” Silvia menatap wajah datar Bianca. Wajah itu memang terlihat tidak menampakkan ekspresi berlebihan, beda dengan waktu pertama dia mengenal Nathan. Sepertinya hati Bianca sudah terlatih dengan gombalan receh sugar daddy-nya. Bianca memilih konsentrasi mengerjakan proposal skripsinya. Dia ingin lulus cepat, karena beban mat kuliahnya juga sudah banyak yang selesai. Pandangan dua wanita itu terangkat, saat tiba-tiba ada segelas es kopi di depan mereka. Arga datang dengan senyum lebar seolah sudah sangat akrab dengan dua wanita itu. “Hai, gais,” sapa Arga sok akrab. Bianca menoleh ke arah Silvia sejenak, lalu melihat ke arah Arga. “Ngapain kamu ke sini?” “Ngapain? Kamu lupa ama permintaan aku minggu lalu?” Nathan mencoba mengingatkan Bianca. Bianca memutar bola matanya. “Gak inget.” “Permintaan kamu udah di tolak sejak awal tau! Jadi gak usah sok akrab ama Bianca,” cerocos Silvia membela sahabatnya. Braak! Arga menggebrak meja dengan sangat keras sampai membuat dua wanita yang bersamanya kaget. Tentu saja dia sangat kesal, Karena Bianca menolak keinginannya. “Heh, Bianca! Jangan kurang ajar kamu ya. Kamu pikir kamu ini siapa, hah?! Kamu ini cuma perempuan yang kebetulan dibeli sama Nathan. Itu bukan berarti derajat kamu sama kayak Nathan, tau!” Arga mengamuk. Bianca menoleh ke arah Arga sambil menautkan kedua alisnya. “Kamu kenapa sih? Gak jelas banget jadi orang.” “Heh! Kalo kamu gak bisa ngerjain tugas, ya belajar. Kamu di sini buat belajar, bukan buat petentang petenteng gak jelas. Udah gitu main ngancem orang seenaknya. Kamu pikir aku takut ama kamu? Gak! Sama sekali enggak!” tegas Bianca kesal. “Bener, Bi. Enak aja nyuruh orang sembarangan!” Silvia ikut kesal. “Oh, jadi kamu gak mau ngerjain tugas aku. Ok, gak papa. Aku juga gak akan segan laporin kamu ke Tante Ivana.” Arga menggertak Bianca dengan mengambil ponselnya. Bohong kalau Bianca tidak takut. Tapi dia juga tidak mau akan dimanfaatkan oleh Arga untuk mengerjakan tugas kuliahnya. Bianca mencoba memberanikan diri terus melihat ke arah Arga, siapa tahu kalau dia menunjukkan perlawanan, Arga akan mundur. Selama dalam acara keluarga kemarin, Bianca tidak melihat Arga berinteraksi dengan Ivana sama sekali, jadi ada kemungkinan mereka tidak dekat. Sebuah mobil sedan mewah dengan logo tiga titik bintang, melintas di depan taman yang sedang ditempati Bianca mengerjakan tugas. Melihat ada mobil baru yang tidak pernah mereka lihat di kampus, tentu saja mobil itu menjadi pusat perhatian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN