Ponsel Bianca berbunyi. Di kemudian segera mengambil tasnya dan segera merogoh ke dalam untuk mencari benda pipih berharga mahal itu.
“Bi, aku pulang duluan. Ntar sore aku ke rumah kamu buat nagih cerita.” Bunyi pesan Silvia untuk Bianca.
Secepat kilat Bianca menelepon Silvia agar menjemputnya. Malas sekali dia kalau harus memanggil ojek online untuk pulang.
Setelah menunggu beberapa saat, Silvia pun datang. Mereka segera pergi meninggalkan restoran sushi itu dan menuju ke rumah Bianca.
“Jadi kamu cuma ditanyain itu doang, Bi?” tanya Silvia sambil menyetir.
“He em. Kira-kira Nathan bakalan marah gak ya ama jawaban aku tadi?” Bianca takut salah menjawab.
“Kenapa takut, kan kalian emang gak ada niatan buat nikah.”
“Ya bukan gitu juga. Tapi kan takut salah aja kalo ternyata jawaban aku ntar tuh salah dan gak sesuai ama rencana dia.”
“Iya juga sih. Tapi ya mau gimana lagi, kan ini dadakan.”
Bianca melepas napas dalam. “Ya udah lah, bodo amat lah.”
Bianca memilih menutup matanya selama dalam perjalanan ke rumahnya. Dia tidak mau berpikir apa yang akan dikatakan Nathan nanti saat mereka bertemu. Memikirkan proposal skripsi saja, sudah membuat Bianca sangat pusing.
Silvia langsung pamit pulang setelah dia menurunkan sahabat baiknya itu di depan rumah. Bianca langsung masuk ke dalam rumah dan segera merebahkan dirinya di atas tempat tidur.
Baru saja wanita itu akan masuk ke dalam alam mimpi, tiba-tiba ponselnya berteriak. Dengan mata yang masih terpejam dan badan yang lemas, Bianca menyuruh tangannya untuk mencari di mana ponselnya berada.
“Halo,” ucap Bianca dengan suara pelan karena mengantuk.
Terdengar tawa di seberang sana. Tawa yang membuat Bianca langsung membuka matanya lebar-lebar.
Bianca langsung melihat layar ponselnya, ingin memastikan apakah dugaannya memang benar tentang sosok yang menghubunginya.
“Daddy,” ucap Bianca kaget melihat nama Nathan ada di sana.
“Halo, Baby. Kamu lagi ngapain kok lemes gitu. Masa abis ketemu ama mama aku, kamu langsung jadi lemes,” jawab Nathan sambil tertawa.
“Nathan tau aku ketemu mamanya? Pasti Tante Ivana langsung bilang ke Nathan deh,” gumam Bianca dalam hati.
“Enggak kok. Aku cuma ngantuk aja, kekenyangan makan.” Bianca beralasan.
“Bagus deh kalo gitu. Baby, dua jam lagi aku sampe Jakarta. Kamu siap-siap ya, aku kangen kamu, Baby.”
“Ok, Daddy. I miss you too.”
Badan Bianca sedikit bergetar setiap kali dia memanggil Nathan seperti itu. Terdengar agak geli tapi terpaksa dia lakukan demi menyenangkan sumber uangnya.
“Good! Kamu tidur dulu ya, ntar aku kasih tau di mana kita ketemu. Selamat tidur, Baby.”
“Ok! Aku bakalan tunggu kamu pulang. See you, Daddy.”
Bianca memutar bola matanya lagi lalu segera kembali memejamkan mata. Bertemu lagi dengan Nathan itu sama saja dengan melaksanakan pekerjaan melelahkan lagi.
“Duh, kalo ketemuan berarti harus pake baju bagus dong. Aduuuh! Bisa gak sih ketemu dia tuh pake dasteran ama celana pendek aja,” keluh Bianca yang kemudian memaksa badannya untuk bangun.
Bianca duduk di pinggir kasurnya lalu melihat ke sekitar kamar. Ada beberapa paper bag yang belum dia buka sama sekali setelah dia belanja kemarin. Sambil menyeret langkah kakinya, Bianca mencari baju yang paling cocok untuk bertemu lagi dengan sugar daddy-nya setelah satu minggu mereka berpisah.
Bianca memutuskan memakai hot pants jeans yang akan dia padukan dengan kaos berukuran besar. Udara di Jakarta sedang tidak baik-baik saja, karena terik matahari membuat kepala terasa akan pecah.
Merasa waktu masih agak panjang, Bianca memutuskan untuk tidur sejenak. Dia tidak ingin memasang wajah mengantuk di depan daddy-nya.
“Bi, aku di depan. Buruan keluar.”
Satu pesan dari Nathan yang membuat Bianca segera berdiri dan mengintip ke depan. Ternyata benar, ada mobil Nathan di depan rumahnya.
Bianca segera mengambil sling bag yang sudah dia siapkan dan keluar dari rumah. Setelah memastikan rumahnya terkunci dengan benar, Bianca segera masuk ke dalam mobil Nathan.
“Katanya mau ketemuan di luar, kok pake jemput segala,” ucap Bianca menyapa Nathan yang sedang duduk manis di dalam mobil mewahnya.
Alih-alih menjawab apa yang ditanyakan Bianca, Nathan langsung menarik tangan Bianca untuk masuk ke dalam pelukannya. Tentu saja Bianca gelagapan dengan serangan tiba-tiba Nathan.
Nathan melepas pelukannya setelah dia memberikan kecupan di pipi Bianca. “Kamu makin cantik sekarang. Aku suka gaya kamu.” Nathan memuji Bianca.
“Thank you. Ini semua berkat Daddy yang selalu kasih aku pelajaran buat milih baju yang bagus,” jawab Bianca sambil melepas senyum lebar.
“Good! Emang harus gitu. Kita makan es krim yuk, panas banget.” Nathan segera menyuruh sopirnya untuk menjalankan mobil ke arah kafe tempat dia akan menikmati es krim bersama Bianca.
Selama dalam perjalanan, Bianca dan Nathan berbincang seperti biasanya. Tentu saja cerita tentang pertemuan dengan Ivana tadi tidak ketinggalan.
Selama Bianca bercerita tentang pertemuannya horornya tadi, Nathan banyak tertawa. Tentu saja hal itu membuat Bianca sedikit kesal, karena Nathan seolah sedang menikmati film lucu padahal Bianca tadi sangat tegang.
“Tadi siang mama chat aku, bilang kalo aku harus jauhin kamu. Ya aku makin penasaran dong, kira-kira apa yang kamu bilang ke mama,” ucap Nathan bercerita.
“Jadi mama kamu gak suka ama aku ya?”
“Hmm bukan gitu. Mama aku suka aja sih ama kamu, tapi kalo jadi mantunya –“ Nathan menggelengkan kepalanya berharap Bianca tahu apa maksudnya.
“Selain di tanyain itu, mama ada nanya yang lain lagi gak?”
Bianca menggeleng. “Gak ada. Abis itu Tante Ivana pamit pergi.”
“Hahaha ... kamu udah gagal di tes pertama, Baby.”
Bianca menoleh ke arah sugar daddy-nya. “Tes pertama?”
“Iya, tes pertama. Kalo kamu lolos wawancara soal keturunan, ntar kamu masuk ke tes kedua. Biasanya mama bakalan ajak kamu ke rumah trus di suruh masak. Dan yang ketiga mama bakalan cek latar belakang kamu sampe ke akar.” Nathan menjelaskan ribetnya tes menjadi menantu keluarganya.
Bianca mendengus sambil menundukkan kepalanya. “Memalukan banget ya. Gak lolos di tahap pertama.” Bianca memonyongkan bibirnya.
Nathan tersenyum. “Kamu masih mending. Dari kelima sugar baby aku, cuma kamu yang ditemuin mama. Yang lain di ajak ngobrol aja enggak.”
Bianca kembali mengangkat wajahnya dan melihat ke arah pria di sampingnya. “Seriusan?”
Nathan mengangguk sambil tersenyum. “Kamu hebat,” puji Nathan sambil menunjukkan jempolnya.
Hati Bianca sedikit terhibur dengan ucapan Nathan. Setidaknya dia masih lebih baik dari pada koleksi Nathan lainnya. Setidaknya, dia sedikit bisa dipertimbangkan oleh keluarga sugar daddy-nya.
Mobil berhenti di depan sebuah kafe. Nathan dan Bianca segera keluar dari mobil untuk menikmati es krim seperti yang Nathan inginkan.
Seorang pelayan membukakan pintu untuk pasangan itu. Nathan memesan meja untuk dua orang dan pelayan itu segera mengantarkan mereka ke meja yang Nathan ingin.
Langkah mereka terhenti, saat mata mereka melihat seseorang yang mereka kenal sedang duduk di salah satu meja.
“Itu ... itu kan –“