Arga merasa ada perbedaan yang cukup mencolok antara sekretaris baru dengan sekretaris lamanya. Sekretaris lamanya alias mendiang Ghea … bukan sekali dua kali wanita itu berusaha menarik perhatiannya. Ghea juga cenderung sengaja memakai pakaian yang terbuka.
Sedangkan Stella, wanita itu tampaknya tahu batasan dan tahu tindakan seperti apa yang menimbulkan ketidaknyamanan sehingga selalu berhati-hati. Menarik perhatian apalagi merayu? Tak ada satu pun tindakan Stella yang ke arah situ.
Apa karena Stella sudah menikah sedangkan Ghea belum? Sehingga Stella berusaha menjaga jarak dan Ghea justru mencoba melewati batas-batas profesional. Ah, setidaknya Arga bersyukur dirinya tidak pernah terbuai.
Arga masih ingat saat ada pekerjaan di luar kota, Ghea memberikan sinyal kalau wanita itu bersedia berbagi kamar. Dalam kata lain, berbagi ranjang lalu melakukan hubungan badan. Namun, Arga tidak terlena sama sekali.
Terlebih sekarang Arga tahu betul kalau Ghea ternyata terlibat affair dengan Randy. Meskipun sampai saat ini ia masih belum bisa memberi tahu Stella tentang apa yang terjadi pada malam kecelakaan itu.
Saat Arga sedang menunggu Stella ganti bajunya seperti semula di salon yang tadi mereka datangi, karena setelan kerja Stella pun sengaja ditinggalkan di sini, tiba-tiba ada panggilan masuk dari nomor Aurora.
“Iya, Sayang?”
“Papa udah nyampe tempat kerja lagi, ya?” tanya Aurora di ujung telepon sana.
“Ada apa, Sayang?” Padahal tadi ia dan Stella pamit dulu pada Aurora sekaligus memastikan anaknya itu mengizinkan mereka pergi. Acara perpisahannya pun sudah selesai.
“Rora cuma mau bilang hari ini seneng banget. Makasih ya papa udah bawa Tante Stella.”
“Papa bersyukur kalau kamu merasa senang.” Tentu Arga lebih memilih membawa Stella alih-alih Aurora didampingi oleh guru yang satu bulan lalu putrinya bilang akan dijodohkan dengannya. Bukannya apa-apa, itu akan menciptakan ketidaknyamanan.
Selain itu, semua orang bisa salah paham, mengira Arga benar-benar menjalin hubungan dengan sang guru, padahal kenal saja tidak. Berkenalan pun Arga tidak mau sekalipun sebulan belakangan putrinya sering merengek tentang mama baru.
“Padahal Rora tadi udah berterima kasih,” jawab Arga kemudian.
“Enggak apa-apa. Rora mau berterima kasih lagi.”
“Iya, Sayang,” balas Arga. “Ngomong-ngomong kamu udah pulang?”
“Ini mau pulang. Tapi nunggu oma dulu.”
“Memang oma-nya ke mana?”
“Lagi bicara sama ibu guru.”
Aurora kemudian melanjutkan, “Kalau gitu Rora tutup teleponnya, ya, Pa. Oma-nya udah, tuh.”
“Hati-hati ya, Sayang, pulangnya.”
“Papa juga hati-hati. Semangat kerjanya Papa!”
Sambungan telepon pun terputus. Sambil tersenyum karena senang mood putrinya luar biasa bagus, Arga meletakkan ponselnya di saku jas. Bersamaan dengan itu, ia menyadari Stella sedang menghampirinya. Penampilan sekretarisnya itu sudah kembali ke setelan awal.
Arga yang semula duduk di sofa pun beranjak berdiri. “Sudah?” tanyanya kemudian.
“Udah, Pak.”
Tak lama kemudian, mereka berjalan beriringan menuju mobil Arga.
“Sekali lagi, terima kasih ya, Stella. Saya lupa kapan terakhir kali Rora se-bahagia itu. Apa yang kamu lakukan hari ini sangatlah berarti bagi anak saya,” ucap Arga kemudian.
“Entah udah berapa kali Pak Arga berterima kasih,” canda Stella.
“Saya bilang, kan, sekali lagi.”
Stella pun tertawa ringan sejenak. “Baiklah, baiklah. Aku terima terima kasih sekali laginya.”
Mereka kini sudah tiba di depan mobil.
“Saya yang nyetir, kan, Pak?”
“Ya. Kamu yang nyetir.” Arga kemudian bersiap masuk melalui pintu belakang.
Tepat saat masuk ke mobil, Arga seolah langsung menjadi orang yang berbeda. Maksudnya, mereka langsung berubah ke mode profesional antara bos dan sekretaris, padahal beberapa menit sebelumnya mereka masih membahas Aurora. Kabar baiknya, Stella bisa dengan cepat beradaptasi dengan hal ini.
Sepanjang perjalanan menuju perusahaan klien tempat meeting diadakan, mereka hanya membahas calon kandidat dan pekerjaan. Hanya itu.
***
Waktu menunjukkan pukul 15.40 saat Stella dan Arga keluar dari ruangan meeting. Mereka tidak langsung pulang, melainkan mampir di kedai yang menjadikan mi sebagai menu utama. Arga sengaja mengajak Stella makan mi dulu untuk mengisi perut. Sekalipun mereka sudah makan siang di acara perpisahan tadi, itu sudah beberapa jam yang lalu. Tak bisa dimungkiri Arga lapar lagi. Tentu saja Stella setuju-setuju saja.
Sampai akhirnya, mereka duduk di meja paling pojok di kedai mi yang cukup populer ini.
“Sebenarnya bagus kalau klien udah punya kandidat sendiri, kita hanya perlu memastikan kandidat yang diinginkan bersedia mengisi posisi yang klien inginkan. Cuma masalahnya adalah … calon kandidat adanya di luar kota.”
“Kita juga belum tahu apakah calon yang diinginkan bersedia atau nggak. Begitu, kan, Pak?”
“Nah, itu dia. Untuk berjaga-jaga list beberapa kandidat potensial lainnya untuk dijadikan alternatif, tentunya yang memenuhi persyaratan klien. Kalau bisa sebelas dua belas dengan yang di luar kota.”
“Baik, Pak.”
“Bisa jadi akhir depan ini kita ke luar kota untuk bertemu kandidat secara langsung. Kamu sudah berkomunikasi dengannya, kan?”
Ya, akhir pekan depan karena akhir pekan ini … adalah besok. Dan itu terlalu mendadak. Sedangkan hari selain weekend, calon kandidat tidak bisa sehingga mau tidak mau akhir pekan depan saja.
“Iya, Pak. Hanya tinggal membuat janji untuk bertemu.”
“Tapi tunggu, kalau kamu nggak bisa ikut karena mustahil meninggalkan Randy sendirian….”
“Aku bakalan coba bicarakan ini dengan Randy dulu ya, Pak.”
Arga mengangguk-angguk. “Baiklah kalau begitu.”
Pria itu kemudian bertanya, “Apa yang dia lakukan saat kamu bekerja?”
“Hmm, nonton TV atau scrolling media sosial. Sebelumnya ada orangtua kami yang satu bulan penuh bergantian berkunjung dan menginap, yang otomatis menjaga Randy saat aku bekerja. Tapi hari ini bisa dibilang hari pertama aku benar-benar meninggalkan Randy sendirian.”
Stella melanjutkan, “Aku harap dia baik-baik aja.”
“Apakah kamu akan tetap berharap dia baik-baik aja setelah tahu kenyataannya?” batin Arga.
***
Selesai makan mi, Stella dan Arga kini sudah ada di mobil. Seperti tadi, Stella yang mengemudi sedangkan Arga duduk di kursi belakang. Mereka sedang dalam perjalanan menuju kantor. Namun, secara mendadak Arga ingin memutar balik. Hal itu Arga katakan tepat setelah membaca pesan yang masuk ke ponselnya.
Tanpa banyak bertanya meskipun sebenarnya Stella penasaran, wanita itu langsung memutar balik mobil yang dikemudikannya saat menemukan logo u-turn tak jauh dari posisi mereka.
“Kita mau ke mana, Pak?” tanya Stella setelah berhasil memutar balik dengan lancar dan hati-hati.
“Setelah kecelakaan, apa kamu pernah melihat ponsel suamimu?” Arga malah balik bertanya.
“Aku dengar ponselnya hancur. Makanya Randy beli ponsel baru.”
“Kamu benar, ponselnya memang hancur banget. Tapi saya nggak punya pilihan selain mencoba memulihkannya. Saya membutuhkan data di dalamnya, termasuk klien-klien yang ada dalam list-nya Randy. Bukan hanya ponsel Randy, saya juga sekaligus memulihkan ponsel Ghea juga,” jelas pria itu. “Saya sebetulnya nggak terlalu berharap apalagi dua bulan udah berlalu, tapi ternyata barusan saya dihubungi kalau ponsel mereka telah diperbaiki dengan data yang berhasil dipulihkan.”
Beberapa menit kemudian, mereka tiba di tempat bengkel ponsel yang secara tempat sama sekali tidak tertata. Banyak bangkai ponsel dan kabel-kabel berserakan di mana-mana. Warna cat temboknya pun bisa dikatakan usang. Ini lebih seperti bangunan tua. Namun, mengingat ponsel Ghea dan Randy berhasil dipulihkan padahal sudah hancur parah, Stella merasa itu sudah lebih dari cukup. Terkadang penampilan tidak mencerminkan keahlian, bukan?
Stella masih berdiri menunggu Arga yang saat ini sedang mengobrol dengan sang teknisi. Tak lama kemudian, Arga menghampirinya sambil membawa paperbag yang bisa dipastikan berisi ponsel yang tadi mereka bicarakan.
Mereka lalu kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan menuju kantor. Sepanjang perjalanan, hanya ada keheningan di antara mereka. Arga mulai berpikir … apa seharusnya ia tidak memberi tahu Stella tentang pemulihan data ponsel yang hancur? Bukannya apa-apa, bagaimana jika ada bukti perselingkuhan Ghea dan Randy pada dua ponsel ini?
“Sial, apa saya telah salah mengambil langkah? Secara nggak langsung saya memberi tahu Stella,” batin pria itu.
“Kenapa nggak dibuka, Pak?” tanya Stella sambil memperhatikan Arga melalui spion tengah.
“Nanti, di kantor aja.”
Stella mengangguk paham. “Hmm, nanti aku boleh melihat ponsel Randy, kan, Pak?”
“Ya,” jawab Arga, agak ragu.
Meskipun semenjak amnesia Randy sudah menjadi versi terbaiknya menurut Stella, tapi tetap saja … banyak pertanyaan yang belum terjawab. Terutama tentang dugaan bahwa ada dua kemungkinan tentang Randy : punya wanita lain atau tidak suka wanita.
Hanya saja, satu bulan lalu Randy sempat mengajaknya berhubungan suami-istri. Walaupun ending-nya gagal karena orangtua Randy berkunjung ke apartemen mereka, tapi intinya itu menunjukkan kalau Randy normal, kan? Itu sebabnya Stella takut kemungkinan satunya yang benar bahwa Randy punya wanita lain.
Melalui data pada ponsel Randy yang telah berhasil dipulihkan, setidaknya Stella bisa menemukan jawaban, kan? Atau minimalnya petunjuk. Sungguh, meskipun rumah tangganya dengan Randy kini jauh lebih baik, tapi tak bisa dimungkiri Stella ingin menepis segala hal buruk yang secara diam-diam pernah ia tuduhkan pada Randy.
“Ponsel itu akan menjadi bukti kalau aku salah perkiraan,” batin Stella, yang masih mengemudikan mobil. Rasanya ia ingin cepat-cepat tiba di kantor.
“Semenjak menikah, kamu belum pernah buka ponselnya?” tanya Arga kemudian.
“Belum,” jujur Stella. “Kami saling menghargai privasi satu sama lain.”
Arga pun mengangguk paham.
***
Semesta seolah berpihak pada Stella semenjak suaminya amnesia. Randy yang sebelumnya cenderung dingin dan cuek, berubah secara drastis jadi penuh kehangatan. Saat Stella merasa telah mendapatkan kebahagiaan yang nyata, ia malah ditampar fakta yang begitu menyakitkan.
Melalui ponsel Ghea dan Randy yang telah dipulihkan … akhirnya Stella tahu kalau ternyata ada affair di antara mereka. Sungguh, Stella ingin tidak percaya, tapi fakta terlalu nyata untuk disangkal.
Dengan tangan yang gemetar, juga kaki yang mulai kehilangan keseimbangan lantaran kesulitan menopang tubuhnya, Arga dengan sigap menahan tubuh Stella.
“Hati-hati,” ucap pria itu. “Kamu duduk dulu, ya.”
“Apa Pak Arga memang udah tahu?”
“Maafkan saya, Stella. Maaf karena nggak ngasih tahu kamu sejak awal.”
“Jadi, Pak Arga beneran tahu?”
“Lebih tepatnya … saya baru tahu pasca mereka kecelakaan. Sebelumnya, saya nggak tahu sama sekali.”
“Pak, bolehkah aku pulang sekarang?” tanya Stella. Suaranya bergetar, rasanya ingin berteriak tapi tertahan.
“Mari saya antar. Saya juga mau sekalian pulang,” pungkas Arga.
Apakah perang sebentar lagi akan dimulai?