Aidan masih tertidur saat Celestine berdiri di sisi jendela apartemen lantai 18. Kopi di tangannya sudah dingin, tapi pikirannya mendidih. Cahaya pagi mulai menembus gorden tipis, tapi tak ada yang bisa mencairkan ketegangan yang menggumpal di dadanya. Kemarahan yang ditahannya sejak kemarin, semakin meninggi dan tidak menurun. Seperti demam yang terus mencapai titik puncak dan tidak ingin turun. Celestine mengambil ponsel dan mengetik cepat. “Pastikan tidak ada satu pun orang yang mendekat ke unit ini. Gunakan empat orang. Senjata tidak perlu ditunjukkan, tapi semua siaga. Fokus hanya satu: lindungi Aidan.” Pengawal pribadi kepercayaannya, Tigor, menjawab cepat. “Perintah diterima, Nyonya.” Celestine menoleh sejenak ke kamar Aidan. Pintu masih tertutup rapat. Dia menyambar blazer hi

