Lantai tujuh yang biasanya terang benderang kini hanya disinari lampu darurat. Di balik bayang tembok kaca, Celestine berdiri seorang diri. Rambutnya dilepas, berantakan, sementara wajahnya tak menunjukkan letih meski malam belum selesai. Dokumen-dokumen berserakan di meja besar. Di antara mereka, laptop terbuka menampilkan rekaman CCTV yang dipotong-potong—semuanya menunjuk ke satu nama: Violet. Bram masuk, membawa dua gelas kopi panas. Ia menatap perempuan itu lama, sebelum akhirnya bertanya, “Apa kau yakin ingin melibatkan direksi dalam ini?” “Jika mereka menjual saham ke Aidan, maka mereka bukan lagi direksi-ku,” ucap Celestine tanpa menoleh. “Mereka hanya pion. Dan pion bisa dikorbankan.” Ia menyesap kopinya, lalu menatap layar lain—sebuah arsip yang menampilkan skema pembiayaan y

