Bab 3. Ancaman Dan Penolakan

1343 Kata
Kanaya berdiri di depan tamu tak diundangnya. Dia mencoba mengangkat dagunya di depan Kenzo, mencoba mengatakan pada Kenzo kalau dia bukanlah orang lemah dan akan dengan mudahnya menurut kemauan pria arogan itu. Sayangnya, pesan tersembunyi Kanaya itu, malah diartikan lain. Tubuh Kanaya yang lebih pendek dari Kenzo, membuat Kanaya harus sedikit mendongak jika ingin bicara dengan dia. “Mau ngapain kamu ke sini?” tanya Kanaya kesal sambil sedikit memonyongkan bibirnya. “Mau ngapain lagi, mau ketemu mertualah. Mau kenalan, sekalian mau–” “Jangan gila kamu, Kenzo. Pulang sana!” usir Kanaya yang sukses dibuat semakin kesal. “Kenapa? Kamu takut?” Kenzo sedikit membungkuk. “Kalo takut, jangan berani nantangin, kau harus turuti kemauanku!” lanjut Kenzo dengan suara lebih pelan. Ingin rasanya Kanaya memukul wajah pria kurang ajar itu. Buku-buku tangan Kanaya sudah mengepal erat, siap untuk dilayangkan. Namun, tentu saja hal itu tidak mungkin dia lakukan karena dia tahu konsekuensinya akan semakin menakutkan. Oleh sebab itu, Kanaya memilih diam sambil mengatur napasnya agar tetap tenang. “Tolong, pulanglah, aku mau istirahat!” ucap Kanaya pelan sambil menunduk. “Ok, istirahat yang benar. Besok pagi, kamu sudah harus memberikan keputusanmu.” “Oh iya lupa, videonya sudah 75 persen selesai. Aku harap, itu akan semakin memudahkanmu dalam mengambil keputusan.” Kanaya mengangkat pandangannya. Ingin sekali rasanya dia menghabisi Kenzo dan mengakhiri mimpi buruknya. Namun, alih-alih membuat perhitungan dengan Kenzo, Kanaya memilih untuk masuk ke rumah. Langkahnya terhenti saat pintu ternyata terkunci. “Berarti enggak ada orang di rumah.” Kanaya dengan cepat merogoh tas untuk mencari kunci rumah. Tak ingin jika Kenzo sampai mengikutinya masuk. Meski tertekan dengan kedatangan pria itu, setidaknya Kanaya merasa beruntung karena tidak ada siapa pun di rumahnya. Itu artinya, dia tidak perlu takut ada yang tahu soal kedatangan Kenzo. Setelah membuka pintu, Kanaya bergegas masuk dan langsung mengunci. Kenzo masih ada di depan rumah. Sempat memberi senyum licik sesaat sebelum Kanaya masuk. “Kenapa semuanya jadi begini, Yah? Kenapa semua jadi begini,” keluh Kanaya sambil bersandar di badan pintu. “Maafin Kanaya, Yah. Maafin Kanaya.” Wanita itu melangkah menuju kamar. Menangis setelah melempar tubuhnya di atas ranjang. Kanaya menumpahkan semua isi hatinya sambil memeluk guling. Dia berharap akan mendapatkan jalan keluar agar bisa terhindar dari situasi tidak menyenangkan itu. Lelah menangis, Kanaya pun akhirnya tertidur. Setidaknya, dengan terlelap, otaknya bisa sejenak beristirahat dari ancaman Kenzo yang sejak tadi terus menekan pikirannya. Tiba-tiba Kanaya terbangun karena mendengar ada suara bel dari depan rumahnya. Nyawa Kanaya yang belum sepenuhnya lengkap pun kembali mendengar suara ponselnya berteriak, menyuruhnya segera bangun. “Restu, mau ngapain dia,” ucap Kanaya saat dia melihat ada nama yang dia kenal muncul di layar ponselnya. “Halo, Res,” sapa Kanaya dengan suara serak khas bangun tidur. “Nay, aku di depan rumah kamu. Kamu gak ada di rumah, kah?” tanya Restu di seberang sana. “Ada kok. Aku ada di rumah. Tunggu sebentar!” Kanaya memutus sambungan teleponnya. Dia segera keluar kamar dan menuju kamar mandi untuk mencuci muka sebelum membuka pintu untuk Restu. Keadaan di rumah Kanaya sangat sepi. Dia tidak melihat ada tanda kehidupan lain di rumah ini. Sepertinya penduduk rumah ini sedang keluar, tanpa peduli dengan keadaannya. Kanaya membuka pintu rumahnya dan mendapati Restu sedang duduk di kursi teras rumahnya. Kanaya mencoba tersenyum, meski dia tidak bisa menutupi matanya yang sudah bengkak sebesar telur. “Nay, kamu kenapa?” tanya Restu yang kaget melihat mata Kanaya yang bengkak. “Gak papa. Aku gak papa kok. Duduk, Res.” Kanaya tidak berani menatap Restu. Restu duduk kembali dan tetap menatap Kanaya, “Kamu kenapa? Kamu habis nangis ya?” Kanaya mengangguk. “Kangen ayah,” jawabnya pelan. Restu melepas napas lega. “Oh itu, kukira kamu berantem lagi ama ibu kamu.” Restu sedikit memutar tubuhnya dan melihat ke arah kaca besar di belakangnya. “Tumben sepi, emang pada ke mana, Nay?” “Pas aku pulang emang enggak ada siapa-siapa. Oh ya, kamu ngapain ke sini?” tanya Kanaya ingin tahu alasan teman sekaligus pria pengisi hidupnya itu datang. Restu pun tersenyum, lalu menyiapkan minuman dan camilan yang dia bawa. Dia memang selalu baik pada Kanaya karena wanita di depannya itu adalah incarannya sejak dulu. Kanaya dan Restu memang sudah lama dekat, apalagi mereka adalah rekan satu kampus. Ayah Kanaya juga sudah mengenal Restu dan diam-diam berharap pria itu akan terus menjaga dan menikahi Kanaya. Pembicaraan basa basi mulai terjadi. Kanaya coba menerka-nerka akan ke mana arah pembicaraan Restu karena tidak seperti biasanya pria itu bersikap seperti saat ini. “Kamu ini sebenarnya mau ngomong apa sih, Res?” tanya Kanaya penasaran. “Nay, kita kan udah lama kenal. Kita bahkan udah deket sejak kita masih kuliah. Jujur Nay, aku ngerasa nyaman banget sama kamu. Aku ... aku sayang kamu.” Kanaya tentu saja terkejut sampai tak bisa berkata apa-apa. Hanya menatap getir. Masih tak menyangka dengan pengakuan Restu. “Aku ingin penuhi permintaan ayah kamu buat jagain kamu selamanya. Aku tulus dari hati aku yang paling dalam, aku siap untuk jaga kamu. Aku siap ngelamar kamu, Nay. Kamu mau kan nikah sama aku?” Restu akhirnya menuntaskan apa yang sejak tadi ingin disampaikannya. “Kenapa baru sekarang, Res? Kenapa?” Di dalam hati, Kanaya merasa sakit. Menyesali kenapa baru sekarang Restu berani mengatakannya. Susah payah menahan tangis. Air mata itu akhirnya lolos begitu saja. Kanaya menangis. Tak kuat menahan perih di hatinya saat ancaman Kenzo kembali mengusiknya. “Nay, kamu kenapa?” Sejak di rumah tadi, Restu memang sudah menebak jika reaksi pertama Kanaya saat mendengar lamarannya adalah menangis. Dan, kini wanita cantik yang dia cintai itu benar-benar menangis di depannya. Entah itu tangis bahagia atau bukan. Kanaya menarik napas panjang dan dalam. Dia mengangkat pandangannya sambil menyeka air matanya, berusaha memaksa tangisannya terhenti. Kanaya menoleh ke arah Restu sambil berusaha menghindari netra pemuda itu. “Res, makasih. Makasih atas niat baik kamu sama aku. Makasih banyak udah baik dan selalu ngejaga aku selama ini. Tapi ... tapi aku … aku gak bisa terima lamaran kamu.” Kanaya langsung tertunduk kembali. Mendengar jawaban Kanayar, Restu pun kaget. Dia bahkan sampai ternganga, berharap apa yang didengarnya itu salah. Restu coba tetap berpikir positif. “Kamu terlalu kaget, ya. Gak papa, gak usah buru-buru. Nanti kita rencanain lagi.” Restu berharap ini hanya soal waktu yang tidak tepat. Kanaya menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. “Aku gak bisa, Res. Aku udah kotor dan aku gak mungkin nikah sama kamu. Maafin aku,” ucap Kanaya dalam hati sambil mempersiapkan diri untuk berbohong pada Restu. “Nay, udah jangan dipikirin dulu. Kita bahas masalah lain aja.” “Maafin aku, Res.” Kanaya menoleh ke Restu, “Aku gak bisa. Aku ... aku gak punya perasaan yang sama kayak kamu.” Pernyataan Kanaya berhasil membuat Restu membelalak. Dia tidak menyangka kalau Kanaya ternyata bisa mengatakan itu setelah kedekatan mereka selama ini. Kanaya kembali menunduk dan meremas tangannya sendiri. Dia memejamkan matanya erat sambil menggigit bibir bawahnya, berharap Restu tidak akan menuntut penjelasan apa pun dari dirinya. Kanaya takut kebohongannya terbongkar. “Kamu gak punya perasaan yang sama ama aku? Lalu apa arti kebersamaan kita selama ini, Nay?” tanya Restu lagi. “Maaf.” Hanya kata itu yang bisa keluar dari bibir Kanaya. “Gak, aku gak percaya. Bilang sama aku, ada apa sama kamu. Apa ada sesuatu yang aku gak aku tahu, Nay? Coba jujur sama aku!” Restu sangat yakin kalau pasti ada sesuatu yang salah dengan wanitanya itu. “Sayang.” Sebuah panggilan langsung membuat Kanaya mendongak dan melihat ke sumber suara. Tidak disangka, ternyata Kenzo masih ada di rumahnya. Pria itu pun semakin mendekat ke tempat di mana dia dan Restu berada. Kanaya langsung berdiri menghampiri Kenzo. Tak ingin Kenzo membocorkan video adegan ranjangnya, Kanaya melingkarkan tangannya di lengan Kenzo yang masih memakai kemeja kantornya. “Ini alasanku, Res. Ini alasan aku gak bisa terima lamaran kamu. Aku akan menikah dengan Kenzo.” Jawaban itu terdengar getir. Namun, Kanaya coba bersikap biasa meski harus menahan luka dan air mata yang membuatnya begitu tersiksa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN