Bab 6. Mencoba Menerima Nasib

1068 Kata
“Bagus ya, jam segini baru pulang. Dari mana aja kamu, hah?!” Sambutan manis ala Linda terdengar menyesak masuk ke gendang telinga Kanaya yang baru saja masuk rumah. Wanita patuh baya yang sudah dinikahi ayah Kanaya sejak lama itu, tampak sangat geram karena mendapati anak turinya tidak pulang ke rumah sejak semalam. Kanaya yang sudah biasa dengan bentakan dan omelan ibu tirinya, memilih untuk melipir pergi meninggalkan ruang tengah, untuk kembali ke kamarnya. Kanaya sedang dalam mode tidak berselera untuk berdebat dengan siapa pun. “Kanaya! Dari mana kamu?!” sembur Linda sambil membanting sendok di atas piring makannya. “Ada perlu,” jawab Kanaya pelan yang berbelok ke arah dapur untuk mengambil air minum. “Dari mana kamu semalam? Bagus ya sekarang, udah berani gak pulang.” “Dia pergi sama 2 cowok Ma selama. Dia gak balik lagi ke kampus abis pergi ama mereka,” lapor Riska, adik tiri Kanaya yang kebetulan juga merupakan mahasiswa di kampus tempat Kanaya mengajar. “Dari mana kamu? Ternyata kamu diem-diem gitu ya sekarang. Pantes uang kamu banyak, ternyata kamu jual diri!” “Bu! Kanaya gak serendah itu!” bantah Kanaya yang mulai panas dengan serangan tuduhan dari keluarganya. “Trus kamu ke mana? Kamu pergi ke mana?!” Linda menuntut jawaban. “Nginep di rumah temen. Rumah Santi.” Kanaya asal menjawab. “Trus cowok yang ngajak kamu pergi itu siapa? Aku gak pernah liat mereka.” Kanaya bergerak maju dan mendekati ibu dan adik tirinya yang masih duduk di ruang makan. “Penagih utang. Puas kalian?!” tegas Kanaya sambil memasang wajah kesal demi menutupi kebohongannya. “Pena –“ “Bukannya harusnya Ibu bayar hutang ayah setelah dapet uang dari keluarga Sagala. Kenapa gak Ibu bayarin? Ke mana uangnya?” potong Kanaya mencoba mencari topik pembicaraan lain. “Uang segitu mana cukup buat biaya kuliah Riska. Lagian itu utang ayahmu, jadi kamu yang harus lunasin!” “Kalo gitu gak usah urusin urusan Kanaya lagi. Bersikap aja kayak biasanya. Gak usah urusin Kanaya!” ucap Kanaya sambil berlalu pergi menuju ke kamarnya. “Pergi aja kamu sekalian dari rumah ini. Dasar anak sukanya bikin malu dan gak tau aturan!” sungut Riska yang juga ikut kesal dengan Kanaya. Kanaya memilih tidak menanggapi ucapan adik tirinya. Meski dia tahu kalau dia sebentar lagi pasti akan pergi dari rumah ini karena akan menikah dengan Kenzo, tapi Kanaya masih belum berniat untuk menyampaikannya sekarang. Kapalanya masih berat dan tidak ingin banyak berdebat dengan orang lain. Bersama dengan Kenzo telah membuatnya kehilangan energi cukup banyak. Meski tadi mereka berdua hanya pergi makan, karena Kenzo kasihan melihat Kanaya lesu dan tampak sedikit pucat, tapi tetap saja Kanaya menggunakan banyak energinya untuk merutuki dan membenci pria yang bersamanya. Hubungan Kanaya dan ibu tirinya memang tidak baik. Sejak awal, Linda memang masuk ke keluarga Kanaya hanya karena uangnya. Wanita itu merayu ayah Kanaya yang sudah lama menduda agar dia bisa menyekolahkan anaknya di tempat yang bagus. Saat itu memang usaha percetakan ayak Kanaya masih berjaya dan kehidupan mereka juga masih mapan. Tapi sejak ayahnya kena tipu, usaha ayah Kanaya mulai meredup, sehingga Linda mulai berani menunjukkan sifat kasarnya karena kekurangan uang. Kanaya kembali menenggelamkan wajahnya di dalam pelukan guling. Dia ingin langsung tidur, karena badannya sakit semua. Luka yang diberikan oleh Kenzo sangat membuat batin dan fisiknya sakit. Kanaya seperti tidak punya kemampuan lagi untuk berjalan di muka bumi ini, tapi mati pun dia malu kalau nanti bertemu dengan mendiang ayahnya. Benar-benar situasi yang tidak menguntungkan untuk Kanaya. *** Kanaya menatap wajahnya di cermin. Terlihat sayu dan sangat kusam. Semalam dia banyak menangis dan merenung meratapi hidupnya ya g telah hancur. Kini dia benar-benar tidak memiliki arah dan tergantung. Tergantung pada tangan Kenzo. Kanaya mulai menepuk wajahnya dengan bedak, setidaknya dia tidak ingin bekerja dengan wajah menyedihkan, seperti orang penyakitan. Tiba-tiba Kanaya tertawa tipis, mencoba membayangkan hidupnya minggu depan. “Mungkin aku harus jadi kayak ibu aja. Nikah karena uang. Hidupku pasti akan terjamin, gak kekurangan bahkan mungkin aku gak perlu kerja,” ucap Kanaya meledek hidupnya sendiri yang takdirnya tidak mudah untuk dia ubah. “Ah, entahlah! Pusing mikirin ini,” lanjut Kanaya putus asa, kemudian mengakhiri riasannya dengan sedikit membanting bedaknya ke meja rias. Wanita cantik itu segera meraih tas kerjanya. Dia ingin segera berangkat ke kampus, siapa tahu pikirannya yang kusut akan sedikit terobati jika dia berinteraksi dengan orang lain. “Pagi, Bu Kanaya.” “Tumben pagi ini cantik banget, Bu. Lagi happy neeh kayaknya.” “Iya, keliatan beda. Tapi itu kantung mata gede banget, Bu. Abis lembur ngedrakor nih kayaknya.” Sapaan dan ledekan dari mahasiswa Kanaya cukup membuat wanita itu mampu mengukir senyum indah di wajahnya. Kanaya memang masih muda dan masih cocok menjadi kakak mereka. Lulusan S2 dengan nilai sangat memuaskan itu dianugerahi otak encer, sehingga dia mampu menyelesaikan sekolahnya lebih cepat dibandingkan rekan seusianya. Karena prestasinya itu juga, Kanaya bisa mendapatkan pekerjaan di kampus mahal milik keluarga Sagala. “Bu Kanaya keliatan cantik, bukan karena dia lembur ngedrakor. Tapi karena dia mau nikah,” celetuk Restu yang mendengar obrolan ringan wanita yang dia cintai dengan muridnya. Kanaya menoleh ke Restu sambil cemberut. “Kamu ini ngomong apaan sih, Res.” Kanaya menunjukkan rasa tidak sukanya pada pernyataan Restu. “Bu Kanaya mau nikah, Pak? Nikah sama Pak Restu ya?” “Cie cie ... akhirnya berlayar juga dong kapalnya.” “Pak, selamat ya. Kita bakalan kawal kapal Bapak dan Ibu. Selamat ya, Bu.” Ucapan selamat dan ledekan terus terdengar di telinga dua orang dewasa yang kini sedang beradu pandang. Bukan pandangan yang lembut, tapi pandangan bercampur rasa kesal yang menggambarkan hati mereka saat ini. “Pak, kapan nikahannya?” tanya salah seorang mahasiswa. “Kok nanya saya. Tanya Bu Kanaya dong. Kan dia yang mau nikah, bukan saya,” tukas Restu yang langsung membuat semua orang kaget. “Laah ... bukan sama Pak Restu? Trus nikahnya sama siapa?” “Iya, sama siapa, Bu?” “Pak, kok bisa kena tikung sih. Tapi penasaran ama siapa Bu Kanaya nikahnya. Bu, kasih tau dong.” “Iya, Bu. Kasih tau dong, siapa akhirnya yang bisa memenangkan hati Ibu.” Tuntutan jawaban terus terdengar di telinga Kanaya. Manusia yang selalu super penasaran pada dosen cantik itu, meminta Kanaya untuk segera memberi tahu siapa calon pendamping hidupnya. “Saya akan menikah dengan ....” “Saya,” sahut Kenzo yang muncul di belakang Kanaya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN