bc

Tergoda Barista Cantik

book_age18+
395
IKUTI
1K
BACA
love-triangle
HE
drama
sweet
bxg
city
office/work place
like
intro-logo
Uraian

"Kamu ingin batas dilanggar? Baik!" jawab Gala, nadanya tajam dan dominan.Gala mencengkeram dagu Binta, memaksa mata Binta bertemu dengannya."Dengar, Binta. Ini bukan karena nafsu, dan ini bukan pelarian. Ini adalah hukuman untukmu yang sengaja cari masalah, dan hukuman untukku yang terlalu ingin tahu tentangmu!" Gala mencium Binta, getirnya alkohol tak bisa menghentikannya.

chap-preview
Pratinjau gratis
Bab 1. Bintang Kecil
"Benar-benar pria b******n!" Air mata Binta terasa asin, bercampur dengan uap kopi yang membakar wajahnya. Mata dinginnya terpaku pada layar tablet kecilnya. Rekaman bisu dalam kantor kafenya, sudah cukup membunuh sebagian dirinya. Dinding kafe yang seharusnya menjadi kanvas impian mereka kini terasa seperti sel penjara. Di luar sana, gerimis tak lebih dingin daripada tatapan mata pria itu. ​"Aku minta maaf, Sayang. Ini bukan salahmu," kata Bara, suaranya begitu tenang mengemas kepengecutan sebagai permintaan maaf. ​Binta tertawa. "Hahaha. Kau bilang bukan salahku? Lalu salah siapa? Salah biji kopi yang kau pilih, Bara? Salah latte art yang gagal?" Binta merasakan robekkan dalam relung hatinya. Ia menggigit bibirnya, melihat adegan demi adegan yang masih ia putar di tablet. "Salah siapa, Bara? Sejak kapan wanita itu masuk lalu menciptakan omong kosong mu?" ​Bara melangkah mendekat, mencoba menyentuh pipi Binta. ​"Jangan sentuh aku!" Binta menepis tangan Bara. ​Binta melempar tabletnya hingga retak. Retakan yang sama dengan hati Binta. Dia tahu, keretakan ini dimulai bukan dari kegagalan finansial Edelweiss, melainkan dari kebohongan yang jauh lebih pahit daripada Robusta terburuk. "Kau terlalu kaku, Binta. Aku butuh yang lain," kata Bara, suaranya mulai naik. "Aku butuh kebebasan." "Oh!" Binta bertepuk tangan pelan. "Kebebasan untuk tidur dengan wanita yang bahkan tidak berani menunjukkan wajahnya?" desis Binta tajam. Ia melepas cincin perak di jarinya dengan kasar, lalu membuangnya. "Kita selesai." Bara meraih tangan Binta, tetapi Binta menepisnya dengan tenaga yang mengejutkan. "Jangan sentuh aku! Jangan sentuh tangan yang kau nodai dengan wanita bertopeng itu!" Bara maju selangkah, menatap Binta dengan mata elangnya yang menyala. "Binta, dengarkan aku!" Tangannya mencengkeram kedua bahu Binta, lalu ciuman itu menguasainya. ​"Aku menyuruh kau pergi!" ​Bibir Binta berdarah. Bukan karena pukulan, melainkan karena Bara terlalu keras menggigitnya untuk menahan jeritan yang ingin Binta lepaskan. ​Bara mundur selangkah, menatap Binta seolah dia adalah lukisan yang gagal. "Aku akan pergi, Binta. Dan kau .., kau akan sadar bahwa kopi dan kafe ini hanyalah pelarian dari kenyataan." *** Kafe "Senja" selalu menjadi semesta kecil seorang gadis bernama Binta Laura Maharani. ​Ia menyukai aroma kopi yang menenangkan—aroma pahit sekaligus manis, seperti sebuah janji bahwa setiap hari yang suram akan berakhir dengan setidaknya satu tegukan yang hangat. Tempat dengan pencahayaan temaram dan musik jazz yang berayun pelan ini, adalah bentengnya. "Kopi anda, Tuan," ucap Binta menyuguhkan secangkir kopi. Di balik meja bar yang panjang dan mengilap, Binta adalah ratunya, di setiap gerakan tangannya, dari menimbang biji hingga menuang latte art, adalah ritual yang memenangkannya kembali dari dunia luar. Kopi adalah caranya untuk tetap waras, karena di luar sana, ia sudah terlalu lelah menyimpan luka. ​Sore itu, sekitar pukul lima lebih sedikit, cahaya matahari mulai condong ke Barat, menyapu lantai kayu kafe dengan warna jingga keemasan. Binta, seperti biasa, menikmati kesendiriannya, mengelap mesin espresso hingga mengilap, menikmati keheningan yang terasa seperti pelukan. ​Hingga sore itu, keheningan itu terkoyak. ​Bukan oleh suara bel pintu atau obrolan pelanggan, melainkan oleh sebuah flash kamera yang begitu terang, membuat penglihatannya sejenak terasa putih. "Aw!" ​Binta tersentak. Kepalanya refleks mendongak, matanya yang tajam menelusuri kaca jendela besar di depan kafe. ​Seorang pria berdiri di luar, mengenakan hoodie gelap dan celana jeans yang seolah sudah lama tidak bersahabat dengan setrika. Di tangannya, sebuah kamera DSLR dengan lensa telefoto yang besar, ia bawa mirip senjata. "Siapa dia?" Dahi Binta berkerut. ​Pria itu, dengan rambut yang agak acak-acakan dan raut wajah fokus seolah menjadi patung, sedang memunggungi Binta. Ia memegang kamera dengan stabil, membidik ke arah langit barat. Jelas sekali ia sedang mengejar golden hour terakhir. ​Binta menghela napas. "Sangat mengganggu,” katanya lirih. Tapi itu di luar, jadi ia memilih mengabaikannya. Gadis itu kembali fokus pada kegiatan membersihkan portafilter. ​Flash! Flash! ​Kali ini lebih dekat, dan lebih mengganggu. Binta mengangkat sebelah alisnya. Ia menyadari sudut pengambilan gambar pria itu sedikit bergeser ke kanan, ke arah sudut kafe tempat pot tanaman kaktus diletakkan. ​Lalu, flash yang ketiga datang. Dan kali ini, Binta yakin pria itu tidak lagi memotret langit. "Ck!" decak Binta membanting pelan lapnya. ​Ia bergerak cepat, keluar dari balik meja bar dan berjalan menuju pintu. Ketika ia membuka pintu, udara luar yang hangat dan berdebu menerpa wajahnya. ​"Hei .., permisi," suara Binta dingin, terbalut intonasi yang biasa ia gunakan pada pelanggan yang mencoba meminta diskon. Binta mendongak melihat wajahnya. ​Pria itu ternyata tinggi, jauh lebih tinggi dari bayangannya, perlahan menurunkan kamera dari wajahnya. Ekspresi fokusnya berubah menjadi sedikit terkejut. ​"Ya?" tanyanya, suaranya sedikit serak, seperti orang yang baru bangun tidur setelah tidur panjang. Matanya, di balik bingkai kacamata tebal, memancarkan binar yang aneh, terlihat sedang melihat sesuatu yang jauh, bahkan ketika matanya menatap langsung ke Binta. ​"Anda memotret apa?" tanya Binta, menunjuk kamera besar di tangan pria itu. "Anda mengganggu ketenangan kafe saya. Flash Anda bahkan tembus ke dalam." ​Pria itu menoleh ke belakangnya, melihat sekilas ke dalam kafe, lalu kembali menatap Binta. Ia terlihat bingung, seolah baru saja dipaksa mendarat dari planet lain. ​"Oh. Maaf," katanya, tapi tidak terdengar tulus. Ia mengangkat sedikit bahunya. "Saya sedang memotret. Langitnya bagus sekali. Dan .., ada flare menarik yang terpantul dari pot kaktus Anda." ​Binta menahan diri untuk tidak memutar matanya. "Jadi, Anda memotret kaktus saya?" ​"Tidak sepenuhnya. Saya memotret langit, tapi kaktus itu hanya .., galaksi kecil yang menarik untuk dimasukkan dalam bingkai. Kontras yang bagus. Cahaya sore yang puitis." ​Binta merasakan gejolak aneh di dalam perutnya. Orang ini benar-benar rese dan puitis yang menyebalkan. ​"Saya tidak peduli dengan omongan puitis Anda," potong Binta. "Tolong jangan gunakan flash Anda di area kafe saya. Saya sedang bekerja." ​Pria itu tersenyum kecil. Senyum yang tidak tulus, tapi juga tidak jahat. Namun terlihat menggoda. ​"Baik. Tapi, ini batas area publik. Saya tidak masuk ke kafe Anda," ia berujar, mengangkat kameranya lagi, seolah siap untuk mengambil foto lagi. ​Binta mengepalkan tangan. "Saya tahu, tapi ini adalah area kafe. Jika Anda tetap mengganggu, saya akan pindahkan kaktus 'galaksi kecil' Anda ke gudang." ​Pria itu akhirnya tertawa pelan. Tawanya terdengar kering, namun entah mengapa, membuat Binta merasa sedikit lebih hangat. ​"Oke, oke. Saya mengalah, Bintang kecil," katanya, dan baru saat itu, Binta menyadari hoodie pria itu memiliki bordiran kecil di bagian d**a. Sebuah kata tunggal: GALA. ​"Nama saya Binta," koreksi Binta, dengan nada tajam. "Saya tahu. Sudah tertulis di name tag yang kau pakai." ​Pria bernama Gala itu menyentuh bingkai kacamatanya, matanya yang sebelumnya jauh kini fokus sepenuhnya pada Binta. ​"Dan saya Gala. Salam kenal, Binta. Jangan khawatir, saya akan menjauhkan galaksi saya dari bintang Anda." ​Gala memutar tubuhnya, memasukkan kamera besarnya ke dalam tas selempang yang usang, dan berjalan pergi, melangkah ke arah barat, mengejar sisa-sisa matahari. ​Binta hanya bisa memandangi punggungnya yang menghilang, lalu kembali ke dalam kafe, hatinya sedikit terasa terganggu. Bukan karena flash, tapi karena julukan aneh itu. ​Bintang kecil. ​Siapa dia berani memanggilnya seperti itu? Dia bahkan tidak mengenalnya sama sekali. ​Binta kembali ke balik meja bar, aroma kopi yang tadi menenangkan kini terasa sedikit cemas. Ia menghela napas panjang dan kembali membersihkan mesin espresso. ​Pertemuan pertama ini, tanpa sadar, telah meninggalkan flare yang kecil, namun tak terhindarkan, dalam semesta Binta yang tertutup. Kafe "Senja" kembali sunyi setelah kepergian Gala. Namun, ketenangan yang Binta cari tidak sepenuhnya kembali. ​Setiap kali tangannya menyentuh mesin espresso yang biasanya memberikan rasa damai, ia malah teringat binar aneh di mata Gala di balik bingkai kacamata tebalnya. Bintang kecil. Julukan itu benar-benar mengganggunya. Binta membenci julukan dan interaksi yang terlalu pribadi, apalagi dari orang asing yang rese dan sok puitis dari pria berkamera besar itu. ​Ia mendongak, melihat keluar jendela. Kaktus di sudut masih berdiri tegak, ironisnya, ia memang tampak seperti objek asing yang menarik perhatian di tengah kafe yang didominasi kayu dan kopi. *** Keesokan harinya, Binta berharap ia bisa melupakan insiden itu. Ia sengaja tiba pagi-pagi, menyiapkan amunisi harian: biji kopi terbaik, s**u segar, dan tak lupa mental baja. ​Sekitar pukul sebelas siang, saat kafe mulai ramai dengan freelancer dan pekerja kantoran yang mencari caffeine boost, pintu kafe terbuka, dan bel kecil di atasnya berdentang. ​Binta secara otomatis mengucapkan salam. "Selamat siang, Kafe Senja. Silakan mencari tempat duduk." ​Seorang pria masuk, celingak-celinguk menyusuri setiap sudut kafe. Apa yang ia kenakan membuat mata Binta tak bisa berfokus pada latte yang sedang ia buat. Pria berkacamata itu menarik perhatiannya. ​Dan itu adalah Gala.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

30 Days to Freedom: Abandoned Luna is Secret Shadow King

read
313.6K
bc

Too Late for Regret

read
308.1K
bc

Just One Kiss, before divorcing me

read
1.7M
bc

Alpha's Regret: the Luna is Secret Heiress!

read
1.3M
bc

The Warrior's Broken Mate

read
144.0K
bc

The Lost Pack

read
427.8K
bc

Revenge, served in a black dress

read
151.5K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook