8. Harus Tega

817 Kata
Ia melihat Rena dan Bayu di dalam rumah itu. Mereka berdua duduk dan sedang menantikan kehadirannya. “Mbak Oliv!” teriak keduanya. Olivia merasa bahagia, ia menangis haru, sesenggukan dan merasa telah menemukan sesuatu yang hilang. Ia ingat masih ada kedua adiknya yang harus dirawatnya dengan baik. “Mbak, ibu sakit, ayah meninggal,” ucap Bayu sambil terisak. Anak laki-laki satu-satunya di rumah itu terlihat sedih. Merasakan kegetiran hidup saat harus kehilangan orang yang menjadi pelindung mereka. Edward menyuruh mereka masuk ke kamar yang telah disediakan. “Kalian ganti pakaian dulu. Lalu ke ruang makan, kita akan makan bersama,” Olivia menatapnya, merasa malu tapi akhirnya dia meminta sesuatu pada Edward. “Ijinkan aku dan kedua adikku pulang ke rumah,” Edward memandangnya, mata sayu yang diperlihatkan di hadapannya itu menaburkan kesedihan. Tapi Edward merasa telah memiliki Olivia, jadi dia melarang gadis itu pergi. “Kamu sekarang istriku dan berhak tinggal disini. Kedua adikmu juga tinggal disini. Jadi ini rumah yang akan kalian tempati mulai sekarang,” Olivia memohon sekali lagi, dia tidak mau tinggal di rumah ini dan ingin kembali ke rumah orang tuanya. Edward menarik tangannya dan mengajaknya bicara di kamar. “Dengar Olivia Zalianty! Kamu adalah istriku, dan wajib mengikuti suamimu kemanapun pergi. Termasuk tinggal di rumah ini, paham!” “Tapi aku tidak berada disana kemarin, jangan mengada-ada dengan menyebutku sebagai istrimu!” Olivia tetap tidak mengakui kalau pria di hadapannya ini adalah suaminya. Yang dia tahu pernikahan itu gagal dan tidak ada yang memberitahu kalau dia telah resmi dinikahinya. Pria itu membuka lemarinya dan memberikan dua buku hijau dan merah. “Lihat dan baca baik-baik sebelum kamu menyangkalnya. Aku menikahimu secara resmi, paham?” Olivia membacanya, disana tertera tulisan nama dan foto miliknya berdampingan juga dengan nama dan foto pria itu. Ia merasa pusing dan jatuh pingsan. ** Hujan deras turun mengguyur kota kecil ini. Olivia membuka kedua matanya, melihat ruangan yang bernuansa putih. Dia masih berada di kamar tadi. Ia mencari keberadaan kedua adiknya. Berdiri dengan tubuh sempoyongan dan meraih handel pintu. Memutarnya dengan cepat lalu keluar mencari Rena dan Bayu. Rumah ini tidak terlalu besar tapi cukup luas dengan hiasan yang unik dan menarik. Tapi dia sedang ingin melihat kedua adiknya disini. “Rena, Bayu!” Ia memanggil keduanya. Langkah kaki terdengar, mulai mendekat ke arahnya. Suara deheman juga terdengar seiring suara langkah kaki yang cukup berat. Ia menunggu sambil berdiri mematung. “Ini sudah malam, mereka sudah tidur. Jangan ganggu mereka!” ucap pria itu. Olivia merasa takut. Kali ini dia dan pria itu saja yang sedang terjaga, ini juga sudah bukan siang lagi melainkan tengah malam. Jam di dinding menunjukkan pukul sebelas malam. Cukup lama dia pingsan ternyata. Pria itu menarik tangannya dan membawanya ke dalam kamar tadi. Olivia ketakutan, ia berteriak tapi mulutnya langsung dibekap. ** "Kasihan aku melihat Fatih seperti itu," Mereka berdiri di depan kamar. Tengah malam dihubungi dan diberitahu kalau adik mereka berteriak sangat histeris tanpa henti. "Nyonya Fatih mengamuk. Tidak bisa mengontrol dirinya dengan baik. Terpaksa kami menghubungi kalian, Nyonya," Dokter yang menjaga di malam ini bercerita bahwa adik mereka berteriak memanggil nama seseorang. "Sangat miris karena Nyonya Fatih ini seperti marah dan sangat sedih," tutur dokter itu lagi. Mereka yang datang mengangguk paham akan apa yang terjadi. "Lakukan yang terbaik untuknya, kami pasrah jika dia terus menerus diberi obat penenang jika terus mengamuk," Air mata deras membasahi pipinya. Wanita yang tubuhnya gemuk dan memakai hijab berwarna abu tua itu tampak menyandarkan kepalanya ke bahu wanita satunya. Seorang pria datang dan melihat keadaan wanita yang tengah tertidur setelah disuntik obat penenang. "Mas, dia mengamuk lagi kata dokter. Apa yang harus kita lakukan?" "Besok aku akan pergi ke rumah seorang kiai. Kita akan datangkan dia kesini, kalau perlu kamu juga bantu aku untuk bawa anak-anaknya ke rumah. Ajak Bayu dan Rena!" "Ya, Mas. Tapi ... Oliv dia ..." "Jangan sebut nama itu. Kita tidak akan menganggapnya sebagai keponakan kita!" ucapnya tegas dan mereka satu persatu meninggalkan ruangan itu. Ketiganya duduk menghadap pada seorang dokter yang memberi rincian tentang p********n biaya rumah sakit disana. "Edward yang akan membiayai semuanya. Anak itu benar-benar sangat peduli, dan keponakan kita sangat biadab telah membuat semuanya hancur dalam satu hari saja," ucap pria tua berkacamata itu. "Tapi Darus, dia ... sepertinya sudah jadi takdir, Mas," "Takdir tapi kenapa harus terjadi saat berita Oliv pergi dia langsung meninggal. Jantungnya kambuh dan tidak bisa tertolong, sensasinya saja ..." Mereka bertiga terdiam dan berpamitan pada petugas rumah sakit. Pulang dengan hati yang cukup terluka..Melihat adik mereka tengah mengalami guncangan hidup yang demikian beratnya. "Besok kita kesana. Sesuai wasiat Darus. Jangan ada yang mencoba untuk bersikap welas asih pada Oliv. Dia harus hidup sendiri tanpa kita," Wanita bertubuh tambun itu memegang lengan kakaknya. "Mas, tapi ..." "Kita harus tega, Nan. Apa kamu ikhlas, melihat Fatih seperti itu?" Mereka bertiga diam, pikiran mereka sedang merasakan sedih yang luar biasa menghadapi kehidupan adik bungsu mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN