"Dimana dia sekarang?"
"Di sebuah tempat yang Tuan pasti tahu,"
Edward mengerti, dia menghela napas. Lalu menyiapkan beberapa barang dan dimasukkan ke dalam tasnya. Ada yang harus dia datangi agar tak lagi berlari dalam genggamannya.
Orang-orang suruhannya dengan cepat telah mengawasi dan berusaha untuk menahan jika pergi lagi.
Ia masuk ke mobil dan menyuruh orang-orang suruhannya menjemput dua anak yang akan dia asuh dan rawat seperti adiknya sendiri.
"Ajak mereka kesini! Bilang kalau aku yang menyuruhnya!"
"Baik, Tuan,"
Edward mendatangi sebuah tempat yang kata orang suruhannya ada seseorang yang telah dicarinya sedang berada disana.
Ia melihat seorang gadis tengah menangis. Olivia … gadis itu tengah duduk bersimpuh di depan pusara makam ayahnya.
Langkah kakinya perlahan mendekat dan memastikan orang-orang yang dia bayar membantunya dari belakang jika gadis itu kabur.
“Itu semua sudah takdir,” ucap Edward.
Olivia terkejut. Ia menoleh dan memandang ke arahnya. Matanya sayu setelah banyak menangis dan meratapi nasibnya.
Rupanya gadis itu mendengar juga kabar kematian ayahnya dan sakit ibunya yang tragis.
Kematian dan kesedihan yang luar biasa dirasakan Olivia. Edward berjongkok dan mengusap pusara makam ayah mertuanya. Olivia bergerak mundur membuat Edward tersenyum tipis melihatnya.
Hati pria itu merasa sedih melihat kematian ayahnya Olivia yang mendadak. Rasa kehilangan yang cukup besar meski belum pernah berbicara banyak dan mengutarakan keinginannya membahagiakan putrinya.
Olivia diam saja, tidak melanjutkan tangisnya. Doanya pun sampai terlupakan. Padahal niatnya ingin datang dan bersimpuh meminta maaf pada ayahnya yang telah terkubur disana.
“Sudah selesai?” tanyanya.
Pria itu masih menunggunya dengan sabar. Tapi Olivia berharap ini hanya mimpi karena bertemu orang yang baru kali ini dia lihat wajahnya.
Sejak kemarin ibunya hanya bercerita siapa dia dan sekarang mereka saling berhadapan.
Gadis itu hanya diam menunduk. Tangan Edward meraih lengannya, Olivia kaget dan menepisnya. "Lepaskan!"
“Tidak usah malu atau sungkan. Aku suamimu sejak kemarin. Kita telah menikah secara sah!” ucap Edward tegas.
Olivia menatapnya tajam. Memberikan tatapan yang mengerikan seperti sebuah kebencian.
Edward tersenyum tipis. Mengajaknya pergi dari area makam dan menyuruhnya masuk ke mobil. “Kita ke rumah sakit. Ibumu dirawat disana!”
Olivia tidak mau, dia berontak dan berusaha melepaskan pegangan tangan Edward dari lengan kecilnya.
“Lepaskan aku! Aku tidak mau menikah!” teriaknya.
“Mau tidak mau kamu tetap sudah menikah! Aku juga sudah keluarkan banyak uang untuk kalian! Jangan coba membantah. Lihat ibumu! Dia sakit karena ulahmu!”
Tangan Edward terus menerus memegangi dengan cukup menekan. Olivia merasa kesakitan dan menangis minta dilepaskan.
“Aku masih terlalu kecil untuk kamu nikahi. Kenapa bisa memilihku, masih banyak gadis yang cocok kamu nikahi selain aku,”
Ia merintih kesakitan saat tangannya terus menerus ditekan karena mengatakan hal yang buruk yang mungkin saja tidak disukai Edward.
“Aku memilihmu karena iba. Aku juga menyukaimu, paham!”
Olivia terus berontak padahal mobil sedang bergerak begitu cepat menuju ke sebuah rumah sakit. Disana ibunya sedang dirawat karena terus menjerit tanpa henti dan selalu diberi obat penenang.
Tiba disana, Olivia menangis tidak percaya. Ibunya yang biasanya periang dan pekerja keras kini tengah terbaring tak berdaya di atas brankar.
Tangannya diikat, membuat hatinya teriris. Ia besimpuh di lantai. Memikirkan hal yang kemarin. Seandainya dia tidak pergi pasti hal ini tidak akan terjadi. Ia menyalahkan dirinya sendiri.
“Sudah lihat, kan bagaimana ibumu harus berjuang untuk menghadapi kenyataan kalau suaminya meninggal dan putrinya pergi di hari pernikahan?”
Edward menarik tangannya, menyuruhnya keluar dan pulang bersamanya. Olivia tertunduk menangis. Ia teringat kedua adiknya.
“Aku mau menemui mereka. Tolong jangan bawa ke rumahmu, mereka butuh aku,”
Edward diam saja, dia bergeming tak menjawab apapun. Mobil terus melaju menuju ke sebuah tempat yang belum Olivia ketahui.
Mereka turun dan Olivia yang tak ingin ikut masuk, dia hanya duduk diam tak bergerak.
“Ayo, masuk! Apa harus aku paksa agar kamu menuruti perintahku?”
Olivia turun perlahan dari mobilnya. Kali ini ia akan mendengarkan kata-kata pria itu. Yang menunjukkan dirinya telah menikahinya sejak kemarin. Sejak hari pernikahan itu.
Sebuah rumah yang cukup mewah tampak menjulang tinggi di hadapannya. “Ini rumah kita!” ucap pria itu. Olivia tertegun. Ia tahu kenapa ibunya bersikeras ingin menikahkan dirinya dengan pria ini.
Tajir dan sangat kaya meski usia tidak lagi muda. Ia adalah korban yang harus memenuhi semua keinginan mereka yang dia sendiri tidak tahu untungnya apa bagi dia.
Hutang orang tuanya memang telah lunas, tapi ia kehilangan Ayah dan juga ibunya meski masih hidup tapi seperti mayat hidup.
Saat pintu terbuka, suasana rumah yang sunyi membuatnya tak ingin masuk. Tapi pria itu menyuruhnya tetap masuk dan menemui mereka yang sedang menunggunya.
“Lihat itu!”
Olivia melangkahkan kakinya secara perlahan. Dia ragu bahkan enggan melihat ke arah yang ditunjuk pria itu.
"Masuklah! Jangan ragu, mereka telah menunggumu sejak tadi,"