10. Di Kamar

820 Kata
Mereka bertiga seperti menahan amarah dan benci padanya. Itu terbukti saat ketiganya bersikap manis pada pria yang menganggapnya sebagai istri. “Nak Edward, kami datang kesini untuk menjemput Rena dan Bayu,” ucap Pakdhe Broto membuka pembicaraan. Pria bernama Edward tersenyum lalu memanggil Rena dan Bayu tapi ketiganya tidak menyahut panggilannya. “Begini Nak Edward, kami sebagai kerabat Dari Bu Fatih, bersedia menampung dan merawat kedua anak dari adik kami itu. Kiranya Nak Edward mengerti kalau kami tetap akan membawa mereka dan mengasuh keduanya dengan baik,” Olivia tersenyum, merasa senang dan hendak menyambung ucapan Budhe Nani yang tampak ingin sekali membawa kedua adiknya. Tapi tiba-tiba, pria yang ada disampingnya memberi saran terbaik untuk tetap mengasuh kedua adiknya dan ingin sekali melihat mereka tumbuh besar di rumah ini. “Maaf, ini sudah jadi wasiat adik kami, Darus yang menginginkan kami selaku kerabatnya yang diminta mengasuh keduanya,” tutur Budhe Setyowati yang nada bicaranya sangat tegas dalam berkata apapun. “Budhe, tapi Olivia nanti bagaimana kalau mereka ikut kalian?” tanya Olivia dengan suara tertahan seperti ingin menangis. Bibirnya bergetar karena mendengar mereka hanya memikirkan Rena dan Bayu saja. Namun, tidak ada satupun dari mereka yang menjawab pertanyaannya. Olivia sangat bingung. Ia tahu kesalahan semuanya yang telah terjadi ada padanya. Tapi dia melakukan ini karena tak ingin menikah muda, apalagi dengan pria yang usianya terpaut jauh. Hingga beberapa saat kemudian, Rena dan Bayu benar-benar diajak pergi dan mereka berpamitan padanya tanpa merasa sedih atau menangis seperti dirinya. Olivia kini sendiri dalam tangisan yang terus-menerus dilakukannya sepanjang malam. Pria itu masuk ke kamar dan menyuruhnya mengusap air matanya. Menegaskan dirinya untuk menjadi istri yang baik di rumah ini. “Mereka tidak ada yang mendengar suaramu. Jadi …percuma juga protes tentang kehidupan yang kamu jalani saat ini. Sebaiknya jangan lagi bertingkah aneh yang akan merugikan dirimu dan juga aku. Semua telah aku berikan, uang dan harta benda yang cukup banyak nominalnya hanya demi bisa menikahimu!” ucapnya dengan sedikit menekan. Ia makin menangis, terasa sakit ketika menyangkut masalah itu. Mulanya perjanjian itu hanya antara ibunya dan pria itu saja. Tapi apa boleh buat, sekarang ibunya pun tidak bisa diajaknya bicara. Olivia hanha bisa menangis dan meratapi kemalangan nya. Ia diminta untuk tetap berada disini sebagai istri pria itu. "Mereka telah melupakanmu, bahkan mencemoohmu. Sejujurnya aku tidak terima istriku diperlakukan seperti itu. Tapi mengingat apa yang telah kamu lakukan, sekali lagi ... aku minta kamu jangan lagi menganggap aku ini pria yang pantas kamu tolak hanya karena usia kita terpaut jauh!" Olivia menunduk menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Tangannya dicengkeram. “Dengar Oliv! Aku berhak atas dirimu, hidupmu dan tubuhmu, jadi jangan coba-coba lari dari rumah ini atau melakukan sesuatu seperti yang kamu lakukan tempo hari! Paham?!” Pria itu menatapnya tajam. Seperti inilah sifat aslinya, saat mereka hanya berdua saja di kamar ini? Olivia menelan ludahnya dan memalingkan wajahnya saat pria itu menyeringai. ** Sinar mentari turun menyinari jendela kamarnya. Terasa sejuk meski udara mulai panas. Olivia duduk merenung memikirkan tentang kedua adiknya yang ikut Pakdhe dan budhenya. Ia tertunduk lesu saat melihat sekawanan burung terbang bebas di langit yang terlihat cerah itu. Ia merasa iri, tidak bisa sebebas burung yang terbang dengan tanpa beban. Bahunya terasa berat, tubuhnya sedikit menggigil. Ia merasa kurang enak badan. Tiba-tiba bahunya disentuh dari arah belakang. “Ada yang ingin bertemu,” Pria itu menyuruhnya keluar. Sepasang suami istri tampak duduk di ruang tamu menunggu dirinya. Olivia tidak tahu siapa mereka. Tapi pria yang tinggal bersamanya mengatakan jika keduanya adalah orang tuanya. “Nak Oliv?” Seorang wanita yang masih sangat cantik seusia neneknya, berdiri dan tersenyum ke arahnya. “Ini menantuku? Kamu baik-baik ya bersama Edward. Dia putraku satu-satunya, putriku satu-satunya juga sudah menikah tapi Edward adalah putra kesayanganku,” Olivia tidak bereaksi apa-apa. Dia duduk setelah wanita itu memintanya duduk dengan santai. Mereka berbicara tentang keadaan Edward putra mereka yang menemukan jodoh dengan sedikit drama dalam pernikahannya. Olivia merasa diakui, mereka bilang butuh cucu segera setelah pernikahan ini berlangsung. Hatinya terasa kecut, bagaimana tidak, mereka menikah pun dia tidak tahu, bagaimana akan punya anak kalau seperti ini keadaannya. “Nyonya, aku …” “Panggil aku Mamah, aku mamahmu sekarang. Edward bilang ibumu sedang sakit dan ayahmu meninggal. Jadi anggaplah kami orang tuamu,” Olivia diam saja. Pertemuan mereka berakhir setelah tiga jam berlalu. Olivia masuk kembali ke kamarnya dan mengurung diri di kamar. Pria bernama Edward masuk dan berbaring di atas tempat tidur. Olivia bangun dari duduknya dan berusaha membuka pintu tapi … TERKUNCI. Keesokan paginya, tubuhnya serasa melayang. Dan saat membuka matanya, ternyata dia sedang digendong, tubuhnya dipindah ke atas tempat tidur. Semalam memang dia memilih tidur di sofa. Ketakutan melanda pikirannya hingga tak bisa tidur dan berbaring di sofa. Pikirannya was-was seperti takut jika nantinya tubuhnya disentuh secara tiba-tiba oleh pria itu. Ia merasa malu tapi pria itu diam saja tidak melakukan sesuatu apapun padanya. Sedikit lega tapi pikirannya tetap ketakutan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN