Aurora POV
Tidak ada yang bisa mengalahkan indahnya suasana pagi hari di daerah puncak Bogor. Bertahun- tahun aku tinggal di sini, tidak pernah sekalipun merasa bosan dengan suasananya, pemandangannya, udaranya, atau bahkan kabutnya. Lahir dan besar di Cisarua merupakan suatu kebanggaan bagi diriku sendiri. Aku merasa senang, menjadi penduduk kampung yang sangat indah dan asri ini. Terlebih aku memiliki tetangga yang sangat baik dan kental sekali kekeluargaannya.
Lima tahun berada di Negara orang tentu saja membuat diriku sering merindukan kampung halamanku ini. Aku selalu membayangkan, jika aku pulang ke rumah, aku akan melakukan hal- hal menyenangkan yang selama ini tidak pernah kulakukan lagi. Seperti berkebun, memanen buah- buahan, berkeliling kampung menggunakan sepeda, dan juga ikut pamanku memancing ikan di sungai. Namun sayangnya, aku hanya memiliki waktu di sini selama dua hari saja. Karena lusa aku harus kembali ke Jakarta untuk mengisi acara seminar.
“El, aku pulang ya.”
Aku menoleh ke belakang, ketika mendengar suara Bima yang berpamitan kepadaku. Saat ini aku memang sedang berada di belakang rumah. Menikmati secangkir teh hangat sambil melihat pemandangan perbukitan dan juga perkebunan. Karena letak rumahku sedikit lebih tinggi dari perkebunan, jadi pemandangannya terlihat jauh lebih indah dan memanjakan mata.
“Sarapan dulu, Kak Bim. Ibu sudah memasak,” balasku.
“Aku harus pulang sekarang. Tiga jam lagi, aku ada meeting di Kantor.”
Aku bangun dari dudukku, kemudian berjalan menghampirinya. “Ya sudah. Hati- hati ya. Maaf sudah merepotkanmu.”
Dia tersenyum seraya menganggukkan kepala. Kemudian tangannya terulur untuk mengacak- acak rambutku. “Puas- puaskan di sini sebelum kembali ke Jakarta. Nanti aku akan menjemputmu,” ucapnya.
“Tidak perlu, Kak Bim. Aku akan kembali sendiri. Aku tidak mau merepotkanmu lagi.”
“Aku tidak merasa direpotkan. Aku malah senang bisa membantumu. Anggap saja aku ini Sopir pribadimu selama di Indonesia.”
Aku menghela napas. Perdebatan ini akan semakin panjang jika diteruskan. Jadi aku memilih untuk mengalah saja.
“Ayo. Aku antar ke depan,” ucapku seraya menarik tangannya.
***
“Mayang, bisakah kita menyelesaikan masalah ini tanpa melibatkan orang lain? Ini salahku. Aku akan menanggungnya sendiri. Jangan libatkan Reyhan, dia tidak tau apa- apa.”
Mayang tersenyum menyeringai. “Ini memang salahmu, tapi kau tidak bisa menanggungnya sendiri. Kau dan Reyhan bersaudara. Jadi jika ada sesuatu yang terjadi padamu, Reyhan pasti akan terkena juga.”
“Kau ─ arrghh .... kenapa kau menyebalkan sekali?”
“Aku memang menyebalkan, tapi kakakmu jauh lebih menyebalkan.”
Zion menghela napasnya kasar. Berurusan dengan wanita jahat memang menguras kesabaran. Jika bukan karena skandalnya, Zion tidak sudi menemui wanita itu di sini.
Ya. Saat ini mereka berdua sedang berada di sebuah kafe untuk membicarakan kesepakatan terkait foto skandal Zion yang berciuman dengan seorang wanita di sebuah club malam.
“Mayang, seharusnya kau sadar diri. Jika bukan karena Reyhan, mungkin kau akan mendekam di penjara sampai sekarang. Di saat semua orang ingin menuntut keadilan, dia masih sempat membelamu. Bahkan dia masih mau memaafkanmu, setelah kau menghancurkan rumah tangganya dan membunuh anaknya. Itu semua dia lakukan demi apa? Demi dirimu, Mayang! Dia ingin memberimu kesempatan untuk berubah menjadi orang yang lebih baik lagi. Dia rela menanggung semua kejahatan yang kau buat. Bertahun- tahun dia hidup dalam kesengsaraan. Diceraikan istri, kehilangan anak, kehilangan semangat hidup, bahkan dia juga sempat dimusuhi oleh kakeknya sendiri karena ulahmu. Tapi apa balasanmu sekarang? Kau malah ingin menghancurkan hidupnya lagi.”
Mendengar semua penuturan Zion, wajah Mayang berubah menjadi merengut. Entah apa yang sedang dipikirkannya sekarang, sampai terlihat seperti ingin marah.
“LALU KENAPA DIA MENINGGALKANKU SETELAH AKU BERJUANG MATI- MATIAN UNTUKNYA?” teriaknya penuh dengan emosi.
“ITU KARENA KAU TIDAK PANTAS UNTUK DIMILIKI!” balas Zion tak kalah nyaring. Hingga membuat semua orang langsung melihat ke arah mereka. Sedangkan Mayang hanya terdiam dengan pandangan kosong ke depan.
Zion mengusap wajahnya kasar. Ini benar- benar di luar kendalinya. Ia tidak menyangka akan berbicara sekasar ini pada wanita itu. Padahal niatnya tadi ingin berbicara secara baik- baik, supaya wanita itu berhasil terbujuk dan mau menutupi skandalnya. Tapi jika sudah seperti ini, Zion tidak yakin wanita itu masih mau tutup mulut. Setelah ini, dia pasti akan semakin menjadi- jadi.
“Bukankah lima tahun yang lalu, kalian sudah sepakat untuk hidup di jalan masing- masing. Lalu kenapa, kau sekarang ingin mengganggunya lagi?” tanya Zion.
“Karena aku merasa belum puas dengan hidupku. Aku masih ingin memilikinya.”
***
Tiga gadis centil yang berstatus sebagai Karyawan Perusahaan Heaven saat ini sedang berjalan mengendap- endap di parkiran Kantor. Mereka bertiga berniat untuk menguntit salah satu Petinggi Perusahaan yang akhir- akhir ini dicurigai telah menyalahgunakan dana Perusahaan.
Sebagai Karyawan biasa, sebenarnya mereka tidak tahu menahu tentang masalah ini. Karena masalah ini masih dalam penyelidikan dan masih disembunyikan dari para Karyawan. Mereka bertiga berada di sini atas perintah dari Lily. Bu bosnya tersebut menjanjikan sebuah tiket konser pada mereka, jika mereka berhasil mendapatkan bukti kuat atas kecurigaan Keluarga Lewis pada pria itu.
“Kau tenang saja, Sayang. Tinggal satu langkah lagi, rencana kita akan berhasil. Sebagian dana yang masuk, sudah aku pindahkan ke rekeningmu. Kau bebas menggunakannya untuk apa saja. Asal jangan terlalu boros.”
Pria itu berdiri di depan mobilnya sambil berbicara dengan seseorang lewat telepon. Sedangkan ketiga gadis itu bersembunyi di balik tembok sambil merekam semua percakapan pria itu menggunakan alat perekam suara yang sudah disiapkan oleh Lily.
“Kau tidak lupa memencet tombolnya, kan?” bisik salah satu gadis tersebut pada temannya yang memegang alat perekam suaranya.
“Sstt ... tidak. Kau jangan berbicara. Nanti kita ketahuan.”
“Mereka sudah mulai curiga, tapi mereka belum menemukan bukti. Untuk saat ini, lebih baik kau pergi ke Luar negeri saja. Nanti jika sudah beres semua, aku akan menyusulmu.”
“Jangan, May. Perhiasanmu sudah banyak. Lebih baik kau gunakan untuk berlibur dengan Cleo saja.”
“Ya sudah. Aku akan pulang sekarang. Tunggulah di Apartemen seperti biasa.”
Melihat pria itu sudah memasuki mobilnya, ketiga gadis itu lantas buru- buru bersembunyi di belakang mobil yang terparkir di sampingnya. Lalu setelah mobil pria itu melaju meninggalkan area parkir, mereka langsung memasukkan alat perekam tersebut ke dalam tasnya dan berjalan seperti biasa layaknya tidak terjadi apa- apa.
“Aku tidak menyangka, Pak Andi akan berkhianat. Padahal dia di pilih menjadi Manajer penjualan karena kinerjanya selama ini sangat bagus.”
Mereka bertiga berjalan menuju gedung sambil membicarakan pria itu. Tentunya dengan suara yang sangat pelan, karena takut ada orang lain yang mendengarnya.
“Setahuku, Pak Andi tidak punya anak bernama Cleo. Lalu siapa Cleo itu?”
“Nama istrinya juga bukan May. Setahuku, namanya itu Siska.”
“Berarti kesimpulannya?” tanya gadis berlipstik tebal pada kedua temannya.
“Pak Andi selingkuh,” sahut kedua temannya dengan kompak.
Gadis berlipstik tebal itu pun tersenyum menyeringai. Kemudian sambil menjentikkan jarinya, ia berkata, “Mari kita lapor ke Bu Bos.”