Sembilan

1158 Kata
“Terima kasih ya, Pak. Ini ongkosnya.” Selesai membayar ojek yang dinaikinya, Aurora langsung berjalan memasuki area komplek pemakaman modern. Karena sudah sedikit lupa dengan letak makam anaknya, ia berjalan pelan- pelan sambil melihat ke kanan kiri untuk membaca batu nisannya. Dari kejauhan, ia melihat ada seorang pria yang duduk bersila di samping makam yang ia yakini itu adalah makam anaknya. Karena ia sedikit teringat, jika makam anaknya berada tepat disebelah pohon kecil. Karena penasaran dengan apa yang dilakukan oleh pria itu, Aurora pun memilih untuk berjalan secara mengendap- endap, supaya pria itu tidak menyadari kehadirannya. Dan ketika ia sudah berada tepat di belakang pria itu, Aurora sedikit terkejut saat menyadari bahwa pria itu adalah Reyhan. Karena pria itu juga belum menyadari kehadirannya, Aurora memilih untuk terdiam dahulu. Ia penasaran dengan apa yang dibicarakan oleh pria itu. “Baby Leon, sebentar lagi kau berumur enam tahun. Kau mau hadiah apa dari Papa? Papa akan membelikannya untukmu. Datanglah ke mimpi Papa seperti biasanya, dan katakan apa yang kau inginkan. Ya?” Mendengar ucapan pria itu, tentu saja hati Aurora langsung berdenyut nyeri. Seumur- umur ia hidup, ia belum pernah didatangi oleh Almarhum anaknya lewat mimpi. Padahal orang yang paling terpukul atas kepergian anaknya adalah dirinya. Ya, katakan saja jika Aurora sangat iri. Ia penasaran, seperti apa rupa anaknya di dalam mimpi. “Baby Leon, apa kau tau? Mamamu sudah kembali lagi setelah bertahun- tahun meninggalkan Papa. Papa bahagia sekali bisa melihatnya lagi, meskipun keadaannya sudah berbeda. Banyak orang bilang, mamamu sekarang berubah menjadi cantik, padahal dia memang sudah cantik dari dulu. Papa juga bangga, melihat mamamu yang sekarang. Dia sudah sukses menjadi Desainer yang hebat. Kau juga pasti bangga, kan? Punya Mama sehebat dia.” Dengan kepala yang tertunduk dan mata yang mulai berkaca- kaca, Aurora meremas tangkai bunga yang ia pegang dengan kuat. Hatinya tersentuh, mendengar semua curahan hati Reyhan pada Almarhum anaknya. “Ya sudah, Papa kembali ke Kantor dulu. Pekerjaan Papa masih banyak. Besok Papa akan mengunjungimu lagi,” pamitnya seraya berdiri dari duduknya. Bak melihat setan di siang bolong, jantung Reyhan rasanya seperti hampir melompat dari tempatnya, saat ia berbalik ke belakang dan melihat keberadaan Aurora yang berdiri di depannya dengan raut wajah yang sangat datar tanpa ekspresi. Sejenak ia mengusap dadanya yang masih berdetak kencang. Kemudian tanpa basa- basi, ia langsung beranjak pergi meninggalkan wanita itu sendirian. Kini berganti Aurora yang duduk bersimpuh di samping makam kecil tersebut. Setelah meletakkan bunga di depan batu nisan, Aurora lantas menyiramkan air kembang di atas gundukan tanah yang sudah ditumbuhi oleh rumput- rumput hijau. “Baby Leon, kenapa kau tidak pernah datang ke mimpi Mama? Mama iri sekali. Mama juga ingin melihatmu. Apa kau marah, karena Mama tidak pernah mengunjungimu?” ucapnya. “Mama minta maaf. Selama ini Mama pergi jauh dan tidak pernah pulang ke Indonesia. Bukan karena Mama ingin melupakanmu, Mama hanya tidak sanggup bertemu dengan orang- orang yang sudah menyakiti Mama. Sekarang Mama sudah kembali lagi, meskipun cuma sebentar. Tapi setidaknya Mama sudah mulai bisa berdamai dengan masa lalu Mama.” Cukup lama, Aurora duduk di samping makam kecil itu sambil terus bercerita. Hingga beberapa menit kemudian, gerimis mulai turun membasahi bumi. Bukannya meneduh, ataupun beranjak pergi, Aurora malah lanjut bercerita dengan pipi yang mulai basah karena air mata bercampur air hujan. Tak lama kemudian, Aurora merasakan tak ada lagi air hujan yang menetes di kepalanya, padahal saat ini hujan semakin turun dengan deras. Karena penasaran, Aurora pun lantas mendongak ke atas untuk melihat sesuatu apa yang menghalangi tubuhnya dari air hujan saat ini. Ternyata sebuah payung berwarna hitam lah yang melindungi tubuhnya dari tetesan air hujan. Aurora menoleh ke belakang, lalu matanya bertatapan dengan mata seseorang yang sedang memayunginya saat ini. “Lanjutkan saja jika belum puas. Aku akan menemanimu di sini,” ujar Reyhan. *** Pukul delapan malam, Aurora sampai di rumah ibunya dengan diantar oleh Bima. Sebenarnya ia tidak mau merepotkan pria itu, tapi karena pria itu memaksa hingga menunggunya selama satu jam di depan Hotel ketika ia sedang berkemas, akhirnya mau tidak mau, Aurora membiarkan pria itu mengantarnya sampai ke rumah. Lumayan, dapat tumpangan gratis. “Makan dulu, Bim. Jangan terburu- buru pulang. Sekarang baru jam delapan,” ujar Ibu Aurora seraya menata makanan di meja makan. Namanya Kinanti, atau biasa dipanggil Kinan. Ibu hebat yang mampu membesarkan anaknya seorang diri. Suaminya meninggal dunia ketika anaknya baru berumur lima tahun. Dan sampai saat ini, ia belum pernah menikah lagi, karena belum ada seseorang yang bisa menggantikan posisi suaminya di hatinya. Selama ini, ia hidup sendirian di rumah ini. Hanya Aurora, satu- satunya anak yang ia punya, dan anaknya itu malah memilih untuk hidup di Negara lain. Meskipun sangat berat baginya, namun Kinan berusaha untuk menerimanya dengan ikhlas. Ia akan selalu mendukung apapun keputusan anaknya, asalkan anaknya bisa hidup dengan tenang dan bahagia. Biasanya untuk melepas rindu, Kinan lah yang berkunjung ke Paris. Karena Putri kesayangannya itu belum berani menginjakkan kaki di Negara ini lagi. Hingga ketika ia mendengar kabar kepulangan anaknya, hatinya senang bukan main. Akhirnya momen yang ia tunggu- tunggu datang juga. Setelah bertahun- tahun mengulang doa yang sama kepada Tuhan, akhirnya terkabul juga. “Menginaplah di sini saja. Aku takut kau mengantuk di jalan. Kau bisa memakai kamarku kalau kau mau,” ujar Aurora. Membuat mereka semua langsung menatapnya. Termasuk Bibi dan pamannya yang baru saja masuk ke dalam rumahnya. “Ah, iya. Lebih baik menginap di sini saja. Tidak baik, berkendara sendiri malam- malam. Nanti kau mengantuk,” sahut Kinan sambil tersenyum canggung. Bima menatap Aurora dengan wajah sungkan. “Tidak apa- apa?” tanyanya. “Tidak apa- apa, Bim. Santai saja. Anggap saja menginap di rumah saudara sendiri,” balas Kinan. “Iya. Kalau kau tidak nyaman tidur di sini, kau bisa tidur di rumah Bibi. Bibi punya dua kamar kosong,” sahut Ratih─ Bibi Aurora. Rumahnya memang sedikit lebih besar dari rumah kakaknya ini. “Ah, tidak. Di sini saja tidak apa- apa. Aku bisa memakai kamar Ella,” ujar Bima. “Ya sudah. Nanti biar Bibi bersihkan dulu,” ucap Kinan. “Bukankah kau ini saudaranya Reyhan?” tanya Edi─ Paman Aurora, yang sedari tadi terdiam. Bima tersenyum simpul. Kemudian ia menganggukkan kepalanya. “Sebenarnya bukan saudara. Tapi karena sudah dekat sejak kecil, jadi sudah seperti saudara sendiri,” jelas Bima. Membuat pria itu langsung ber-oh ria. “Bagaimana kabarnya si b******k itu? Apa dia sudah menikah dengan selingkuhannya?” tanya Edi terang- terangan. Seketika raut wajah Aurora langsung berubah menjadi tak enak. Wanita itu bahkan sampai berhenti mengunyah makanannya dan beralih menatap nasinya dengan pandangan kosong. Menyadari jika Aurora tidak nyaman dengan pertanyaan sang Paman, Bima pun lantas berusaha untuk mengalihkan pembicaraan. “Bibi, apa di sekitar sini ada Supermarket?” tanya Bima pada Kinan. “Ada, tapi di pinggir jalan raya. Di kampung sini hanya ada warung- warung kecil,” jawab Kinan. “Ah, baiklah. Temani aku, El. Aku tidak tau jalannya,” pinta Bima. Sedangkan Aurora hanya menganggukkan kepalanya saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN