Delapan

1192 Kata
Aurora menghentakkan tangan Reyhan dengan keras, ketika mereka sudah sampai di ruangan kerja pria itu. Kemudian ia berniat untuk keluar dari ruangan tersebut, namun Reyhan langsung bergerak cepat untuk mengunci pintunya secara otomatis lewat remote kecil yang dipegangnya. “Apa maumu?” geram Aurora yang tak bisa menahan kesal. “Aku hanya ingin bersamamu sebentar saja,” balas Reyhan santai. “Aku harus mengantarkan makanan Lily, Rey!” Tanpa banyak bicara, Reyhan langsung membuka ponselnya dan menghubungi seseorang lewat panggilan telepon. “Datanglah ke ruanganku sekarang,” ucapnya pada seseorang yang dihubunginya. Aurora berdecak kesal sembari mendudukkan dirinya di sofa panjang. Lagi- lagi moodnya dirusak oleh pria ini. Jika begini terus, kesabarannya bisa habis dan keinginannya untuk pulang ke Paris secepatnya semakin kuat. Ia tidak tahan, jika berurusan dengan Reyhan terus- menurus. Setiap melihat wajah pria itu, ia selalu teringat akan rasa sakit yang dideritanya beberapa tahun yang lalu. “Ada apa?” Lily bertanya sambil masuk ke dalam ruangan Reyhan. Sedangkan Reyhan hanya menunjuk Aurora menggunakan dagunya. Lily yang melihat keberadaan Aurora tentu saja langsung kegirangan. Gadis itu pun lantas berlari menghampiri Aurora dan menghambur ke dalam pelukan wanita itu. “Kakak datang ke sini untuk menemuiku atau menemui Kak Rey?” tanya Lily. “Tentu saja untuk menemuimu. Untuk apa aku datang menemui dia? Tidak penting sekali. Melihat wajahnya saja aku sudah muak,” balas Aurora sewot. “Benar. Aku juga muak melihat wajahnya lama- lama,” timpal Lily menyetujui ucapan Aurora. Hingga membuat Reyhan langsung mendesis kesal. “Dia juga semakin menyebalkan. Selalu mengganggu orang lain dan selalu berbuat seenaknya sendiri. Dia pikir, dengan dia bersikap seperti itu, orang- orang akan merasa nyaman berada di dekatnya? Oh, tentu saja tidak. Dia hanya membuat orang lain semakin muak dengan sikapnya,” sindir Aurora sambil sesekali melirik Reyhan yang masih berdiri sambil bersandar di meja kerjanya. “Benar sekali. Dia juga selalu berbuat seenaknya padaku. Aku sering diperlakukan seperti pembantunya. Jika dia bukan kakakku, mungkin sudah aku cekik lehernya.” Lily semakin bersemangat menanggapi ucapan Aurora. Tanpa memedulikan tatapan sinis Reyhan yang seperti ingin menerkamnya sedari tadi. Aurora mengangguk setuju. Kemudian Lily melirik Reyhan sekilas, lalu senyuman jahil langsung terbit di bibirnya. “Kak Ella, apa Kakak sekarang sudah punya pacar? Aku yakin, pasti banyak sekali pria- pria tampan yang menyukai Kakak,” ujar Lily. Berniat untuk memanas- manasi Reyhan. Sedangkan Aurora hanya tertawa kecil menanggapinya. Sementara itu, Reyhan yang mulai kegerahan karena pembicaraan kedua wanita itu pun lantas mengipasi wajahnya sendiri menggunakan dasi kemejanya. Kemudian ia mengambil botol air yang tergeletak di atas meja kerjanya, lalu ia minum sampai habis tak tersisa seperti orang yang sedang kehausan. “Pembicaraan kalian sangat tidak penting,” ketus Reyhan seraya berjalan keluar dari ruangan. Membuat Lily dan Aurora langsung tersenyum puas. *** Selesai menemui Mr. Jo dan mengambil naskah untuk materi seminar, Aurora langsung berjalan keluar dari kantor dengan ditemani oleh Lily. Mereka berjalan sambil asik berbincang- bincang, sampai tidak sadar jika banyak sepasang mata yang saat ini sedang melihat ke arah mereka. “Siapa wanita itu?” “Aku juga tidak tau. Aku baru melihatnya.” Para Karyawan saling berbisik satu sama lain. Membicarakan Aurora yang saat ini sedang menarik perhatian mereka. “Bukankah dia wanita yang tadi digandeng Presdir?” “Ah, iya. Aku juga melihatnya.” “Apa hubungannya ya?” “Yang jelas, mereka punya hubungan istimewa. Kalau tidak, mana mungkin Presdir mau menggandeng tangannya? Kau tau sendiri, Presdir kita sangat alergi dengan tangan perempuan.” “Benar juga. Aku jadi penasaran, hubungan mereka sudah ditahap apa? Apa mereka sudah berkencan?” “Kurasa sudah. Atau bahkan sudah bertunangan.” “Aku setuju. Mereka sangat cocok.” “Ya. Dibandingkan dengan Yuki, wanita itu jauh lebih cantik dan berkelas.” “Jangan bandingkan dengan Yuki. Yuki hanya teman Presdir.” “Kau yakin? Dari tatapan Yuki saja sudah terlihat, kalau dia menyukai Presdir.” “Tapi Presdir selalu cuek dan sering mengabaikannya.” “Sstt ... biarkan itu menjadi urusan mereka. Sekarang kita fokus kerja saja.” Kemudian setelah Aurora tidak terlihat lagi, para Karyawan langsung berhenti menggunjing dan kembali fokus pada pekerjaannya masing- masing. *** “Apa jadwalku nanti siang?” tanya Reyhan pada sang Sekretaris. “Yuki mengajakmu makan siang di Restoran Jepang,” jawab Harry. Reyhan berpikir sebentar. Kemudian ia menganggukkan kepalanya. “Baiklah,” ucapnya. “Yuki juga ingin mengajakmu pergi ke pertunjukan musik besok malam. Apa kau mau?” tanya Harry. “Tidak. Aku tidak suka musik.” “Baiklah. Aku akan memberitahunya.” Lalu ketika Harry akan melangkahkan kakinya untuk pergi, Reyhan langsung menghentikannya. “Tunggu!” “Iya?” sahut Harry. “Apa wajahku terlihat sangat membosankan?” Harry melongo bingung mendengar pertanyaan sang Presdir. Tidak biasanya, pria itu bertanya seperti itu. Karena sejak dulu sampai sekarang, pria itu selalu bersikap narsis dan tingkat percaya dirinya setinggi langit. “T-tidak. Kau selalu terlihat tampan, menawan, dan tidak pernah membosankan,” jawab Harry gugup. Ia takut salah berbicara dan menyebabkan pria itu marah. Kemudian pria itu mengaca lewat kamera ponselnya. Seluruh wajahnya diperhatikan secara detail. Mulai dari mata, hidung, hingga bibirnya. Kemudian tangannya meraba- raba wajahnya, mencari jerawat ataupun komedo yang siapa tahu terselip di wajah mulusnya. Tapi ternyata satupun tidak ada. “Apa kau juga muak melihatku lama- lama?” tanyanya lagi pada Harry. Membuat Harry langsung panik seketika. “T-tidak. Mana mungkin aku muak melihatmu. Wajahmu selalu membawa aura positif dan membuatku merasa tenang jika melihatmu.” Pujiannya yang berlebihan tersebut membuat Reyhan langsung meliriknya sinis seraya berdecak kesal. Sedangkan Harry hanya tertawa cengengesan seraya menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Apa kau sudah membeli buket bunga untuk ke makam?” tanya Reyhan. “Sudah. Aku letakkan di dalam mobil,” jawab Harry. “Baiklah. Aku akan ke makam sekarang.” “Aku siapkan dulu mobilnya.” “Tidak perlu. Aku akan pergi sendiri.” “Oh, baiklah.” *** Sementara itu di sisi lain, saat ini Aurora sedang sibuk memilih bunga di toko florist sambil berbicara dengan ibunya lewat telepon. “Iya, sabar dulu. Kalau aku tidak bisa pulang sekarang, aku akan pulang besok,” ujar Aurora. “Ck. Kenapa kau sekarang pandai berbohong? Kemarin kau bilang akan pulang pagi hari, lalu kau undur sampai siang. Sekarang sudah siang, kau undur lagi sampai besok. Kalau kau masih mau mengundur- undurnya lagi, Ibu dan Bibi akan menjemputmu ke Jakarta.” Aurora menghela napasnya. “Tadi pagi aku masih ada urusan, Bu. Terus siang ini, tiba- tiba aku ingin berkunjung ke makam Baby Leon,” jelasnya. “Dari kemarin kau belum mengunjunginya?” “Belum. Kemarin aku belum siap. Aku takut menangis seperti waktu itu lagi.” Lima tahun yang lalu, ketika ia akan pergi ke Paris, ia pernah menangis di makam anaknya sampai pingsan. Untungnya ada penjaga makam yang bergegas menolongnya. “Ck. Ya sudah, pergilah sekarang. Kalau tidak bisa pulang hari ini, jangan dipaksakan.” “Iya. Aku usahakan pulang hari ini.” “Ibu tutup ya, teleponnya. Kabari Ibu, kalau kau jadi pulang hari ini. Ibu akan menyiapkan masakan yang enak untukmu." Aurora terkekeh. “Baiklah, ibuku yang cantik. Sampai jumpa nanti. Aku harus ke makam sekarang,” ucapnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN