Jakarta, 07.00.
Suara langkah kaki terdengar di seluruh koridor rumah sakit. Anak tangga satu demi satu, wanita itu naiki hingga sampai di lantai atas. Sejenak ia mengatur napas hingga menjadi lebih teratur. Kemudian, perjalanan kembali berlanjut menuju ruangan tempat Nenek Reyhan dirawat.
Tadi malam, Aurora menolak ajakan Bima untuk menjenguk Nenek Reyhan di Rumah sakit, lantaran hari yang sudah terlalu malam dan ia juga ingin segera beristirahat setelah seharian beraktivitas.
“Reyhan ada di sini?” tanya Aurora pada Bima yang sedang berjalan di sampingnya.
“Aku tidak tau,” jawab Bima.
Aurora menghela napasnya. Tadi sebelum berangkat, ia sempat ragu. Ia takut bertemu Reyhan di sini dan membuat pria itu berkesempatan untuk mengganggunya lagi. Cukup sekali saja, ia bertemu dengan pria itu. Ia tidak mau lagi, berurusan dengan seseorang yang meninggalkan bekas luka yang mendalam di hatinya. Bahkan di acara seminar nanti, Aurora sudah memikirkan cara untuk menghindari pria itu.
“Masuklah,” suruh Bima, setelah membuka pintu kamar inap Nenek Reyhan.
Di ruangan yang sangat besar ini, terlihat beberapa orang yang sedang beraktivitas di dalamnya. Lily yang sibuk berdandan di depan cermin, Zion yang masih tertidur pulas di atas sofa, dan Monica yang sibuk menyeka tubuh ibunya yang terbaring lemah di atas ranjang.
Dan sepertinya, mereka semua belum ada yang menyadari kehadiran Aurora dan juga Bima.
“Bibi ...” panggil Bima. Membuat wanita paruh baya itu langsung menoleh ke arahnya.
“Eh, Bim─
Ucapan Monica langsung terputus saat melihat keberadaan Aurora yang berdiri di samping Bima. Matanya melotot sempurna dan mulutnya menganga lebar. Seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya pagi ini.
“KAK ELLA!” pekikan suara Lily berhasil membuat sang Nenek langsung terbangun dari tidurnya. Sedangkan mamanya yang tadi sempat tercengang, langsung bergegas menghampiri Ella yang masih berdiri di dekat pintu.
“Apa kau benar- benar Ella?” tanya Monica memastikan.
Aurora mengangguk seraya tersenyum manis. Namun Monica masih seperti tidak percaya. Wanita paruh baya itu kembali memandangi Aurora dari atas sampai bawah.
“Apa Bibi Momon terkejut melihat perubahanku?” tanya Aurora dengan senyuman manis yang masih menghiasi bibirnya.
Monica menutup mulutnya yang sedang menganga lebar. Lalu sedetik kemudian, ia langsung memeluk tubuh Aurora dengan erat. Ya, sekarang ia baru benar- benar percaya bahwa wanita yang berdiri di depannya ini adalah Ella. Karena tidak ada lagi orang di dunia ini yang memanggilnya ‘Bibi Momon’ selain Ella.
“Ella ... kau ke mana saja? Bibi merindukanmu.”
Aurora hanya tersenyum sembari mengusap lembut punggung Monica. Sedangkan Lily yang sudah selesai berdandan langsung berjalan menghampirinya.
“Mommy, mulai sekarang jangan panggil Ella lagi. Namanya sudah berubah. Panggil saja Aurora,” ujar Lily.
“Oh, ternyata selain menghilang, kau juga berganti nama ya? Pantas saja Bibi tidak bisa menemukanmu,” sahut Monica pura- pura merajuk. Membuat Aurora langsung tertawa kecil.
“Ella ....”
Mereka semua langsung menoleh ketika mendengar lirihan suara yang berasal dari belakang Monica.
Lina, Ibu dari Monica sekaligus Nenek dari Reyhan dan adik- adiknya, sedang menatap Aurora dengan senyuman yang begitu tulus.
Aurora tersenyum simpul. Kemudian lantas berjalan menghampirinya dan duduk di kursi yang terletak di samping ranjang wanita tua itu.
“Nena sudah makan?” tanya Aurora seraya mengusap lembut tangan Lina.
Lina menggeleng pelan. Kemudian Aurora mengambil tisu di atas meja, dan mengusap wajah Lina yang masih sedikit basah.
“Bagaimana kabarmu?” tanya Lina.
“Kabarku sangat baik. Nena bisa lihat sendiri, aku berubah menjadi cantik, kan?” balas Aurora sambil tersenyum tengil. Membuat Lina langsung terkekeh pelan.
“Ya, kau sangat cantik sekarang. Nena sampai terkejut melihatmu,” puji Lina.
Monica ikut duduk di samping Aurora, Bima duduk di sofa, sedangkan Lily pamit berangkat kerja.
Melihat Zion yang masih tertidur pulas di atas sofa, Aurora pun bertanya, “Itu Zion?”
“Iya. Dia sedang tidak enak badan, jadi hari ini libur bekerja,” jawab Monica. Sedangkan Aurora hanya ber-oh ria.
Di saat Aurora sedang asik berbincang- bincang dengan Lina dan Monica, tiba- tiba pintu ruangan terbuka. Reyhan masuk dengan membawa dua kantong yang berisi makanan.
“Bibi, bubur ayamnya hanya ada dua porsi. Jadi aku belikan pancake dan beef burger dua porsi,” cerocos Reyhan sembari meletakkan makanan tersebut di atas meja depan sofa.
Suasana langsung berubah menjadi canggung. Aurora memalingkan wajahnya ke arah jendela, sedangkan Lina, Monica dan juga Bima langsung menatap Aurora khawatir.
Begitu menyadari jika ada tamu spesial di ruangan neneknya, Reyhan langsung tertegun seketika. Ia pun berusaha untuk mengontrol ekspresinya. Kemudian setelah itu, ia pamit keluar dari ruangan.
“Nena, Reyhan pamit berangkat kerja,” ucapnya datar tanpa ekspresi.
Melihat Reyhan yang sudah keluar dari ruangan, Monica langsung buru- buru mengambil makanan tersebut. Ia lupa, tidak menitipkan makanan Lily pada pria itu. Padahal tadi Lily sudah berpesan supaya makanannya dititipkan ke Reyhan saja.
Monica pun berlari keluar dan berusaha untuk memanggil pria itu, namun sayangnya pria itu sudah terlanjur masuk ke dalam lift.
“Haduh ... bagaimana ini? Aku lupa tidak menitipkan makanan Lily,” ujar Monica sembari berjalan memasuki ruangan lagi.
“Titipkan saja pada Ella. Setelah ini dia akan pergi ke kantor Perusahaan Heaven,” sahut Bima. Membuat mata Monica langsung berbinar- binar.
“Oh ya?” tanya Monica.
Aurora mengangguk singkat. Kemudian ia berdiri dari duduknya dan berjalan menghampiri Monica. Lalu setelah itu, ia mengambil alih kantong makanan tersebut dari tangan wanita itu.
“Biar aku saja yang mengantarnya,” ucapnya. Membuat Monica langsung tersenyum lega.
***
Aurora turun dari mobil Bima, lalu berjalan memasuki kantor mewah Perusahaan Heaven. Karena belum terlalu mengerti, Aurora pun lantas menghampiri meja Resepsionis untuk bertanya.
“Permisi,” ujar Aurora.
“Baik. Ada yang bisa kami bantu?” sahut sang Resepsionis dengan ramah.
“Ruangan Mr. Jo ada di lantai berapa ya?” tanya Aurora.
“Mohon maaf sebelumnya. Apa Kakak sudah buat janji dengan Mr. Jo?” tanya wanita itu balik. Sedangkan Aurora hanya mengangguk saja.
“Tunggu sebentar ya. Saya akan menghubungi Mr. Jo dulu,” ucapnya lagi.
Sambil menunggu Resepsionis tersebut selesai menghubungi Mr. Jo, Aurora membuka ponselnya untuk sekedar melihat pesan- pesan yang masuk dan beberapa panggilan yang tak terjawab. Sejak ia bangun dari tidur tadi, ia sudah diteror telepon oleh Ibu dan juga bibinya. Karena malas mengangkat, ia memilih untuk membiarkannya saja.
“Kak, maaf. Mr. Jo sedang berada di luar. Apa Kakak mau menunggu sebentar?” tanya sang Resepsionis.
Aurora menghela napasnya. Padahal ia tidak mau berlama- lama di sini. Setelah mengantar makanan Lily sekaligus mengambil materi seminar di Mr. Jo, ia berniat untuk langsung kembali ke Hotel. Karena siang nanti, ia harus pulang ke Bogor.
“Tidak perlu menunggu. Ayo ke ruanganku saja.”
Suara tersebut tentu saja berhasil mengejutkan Aurora. Apalagi tangannya juga ditarik dan dipaksa untuk berjalan mengikutinya. Aurora ingin melawan, tapi genggaman tangan pria itu sungguh kuat. Dari pada ia terjatuh dan berujung malu, jadi ia memilih untuk mengikutinya saja.