Aurora mencoba untuk melepas pelukan pria itu secara paksa. Namun sayangnya, pria itu malah semakin mengeratkan pelukannya. Aurora menarik napas sembari memejamkan matanya, mencoba untuk tetap bersabar menghadapi pria yang sedang memeluknya ini.
Jika tidak ada orang lain di dalam mobil ini, mungkin Reyhan sudah berakhir babak belur.
“Aku sudah bukan Ella yang kau kenal,” desis Aurora.
“Aku tidak peduli. Bagiku, kau tetap Ella yang dulu. Meskipun sekarang sudah berubah,” balas Reyhan.
“Lepas, Rey. Jangan menguji kesabaranku.”
“Beri aku waktu selama lima menit. Aku sangat merindukanmu,” pintanya. Membuat Aurora langsung menghembuskan napasnya lelah.
Pasrah. Hanya itulah yang bisa ia lakukan sekarang. Toh, membiarkan pria ini memeluknya selama beberapa menit tidak akan membuatnya rugi. Lagi pula, ia juga sedikit merindukan pelukan nyaman dari pria ini.
Sedikit saja, tapi. Hanya 5% dari 100%.
“Ayo pulang,” ujar Reyhan. Membuat Aurora langsung mendongakkan kepala untuk menatapnya.
“Rumah keluarga Lewis masih terbuka lebar untukmu. Banyak orang yang merindukanmu di sana. Bukan hanya aku saja. Bahkan sampai saat ini, Lily masih berharap kamu akan pulang ke sana lagi.”
“Aku bukan bagian dari keluarga Lewis lagi. Jadi untuk apa, kau memintaku pulang ke sana? Itu hanya akan membuka luka lama lagi.”
“Sampai kapanpun, kau akan tetap menjadi bagian dari keluarga Lewis.”
“Rey, kita sudah bercerai! Tolong jangan seperti ini. Aku sudah memiliki kehidupan sendiri sekarang, dan kau juga pasti begitu. Kepulanganku ke sini bukan untuk memperumit apa yang sudah terjadi. Jadi please, jangan memaksaku untuk membuka luka lama. Biarkan aku hidup dengan tenang.”
Mendengar ucapan Aurora yang mulai meninggi, Reyhan pun lantas melepaskan pelukannya dengan perlahan. Ia menatap Aurora yang sedang marah dengan tatapan yang penuh kesedihan.
“Pak, berhenti di depan Halte,” ujar Aurora pada sang Sopir dengan ketus.
Reyhan sudah tidak berani melarang atau membujuk Aurora lagi. Pria itu hanya terdiam dengan pandangan kosong sambil memainkan korek apinya sendiri.
Mobil berhenti ketika sudah sampai di depan halte. Aurora langsung turun tanpa mengucapkan sepatah kata apapun. Namun ketika ia akan menutup pintunya, ia melirik Reyhan sebentar.
“Jangan merokok. Kau punya gejala paru- paru,” tegur Aurora. Sebelum akhirnya ia menutup pintunya dengan kencang.
Reyhan tersenyum simpul. Meskipun sudah berubah menjadi perempuan judes, namun Aurora masih tetap perhatian seperti dulu.
***
Aurora menghembuskan napasnya kesal. Hampir Lima belas menit, ia berdiri di depan Halte ini. Namun belum ada satupun bus yang lewat. Taksi tidak ada, Angkot penuh, pangkalan Ojek juga masih jauh.
Sebenarnya bisa saja, ia memesan kendaraan lewat aplikasi online. Tapi masalahnya, baterai ponselnya tinggal 5%. Untuk mendownload aplikasinya saja tidak cukup, apalagi untuk mendaftar dan memesan yang memang membutuhkan waktu yang cukup lama.
Jadi mau tidak mau, Aurora harus bersabar menunggu di sini sampai benar- benar ada kendaraaan umum yang bisa dinaiki.
“Neng, mau naik becak tidak?” tiba- tiba ada seorang Bapak- bapak Tukang becak yang menghampiri dirinya dan menawarkan kendaraan tersebut kepadanya.
Aurora berpikir sebentar. Lebih tepatnya membayangkan jika ia menaiki becak di jalan besar yang dipadati dengan kendaraan umum seperti ini. Bisa- bisa kulitnya terkena paparan debu dan polusi udara.
“Berapa, Pak, kalau ke Senayan?” tanya Aurora.
“Dua ratus ribu saja, Neng.”
Aurora membulatkan matanya lebar. Seumur- umur ia hidup di Jakarta, ia tidak pernah menemui harga becak yang sefantastis ini.
“Jauh, Neng. Kemayoran ke Senayan itu satu jam. Kalau Neng mau, ayo saya antar. Dari pada menunggu lama di sini. Soalnya di sana sedang ada kecelakaan. Jalanan macet. Bus dan kendaraan umum susah lewat,” cerocos sang Tukang becak.
Lagi- lagi Aurora menghembuskan napasnya kasar. Ia semakin dibuat pusing oleh Tukang becak ini.
Di saat ia bingung menentukan, antara menaiki becak atau menunggu bus datang. Tiba- tiba ada mobil mewah yang berhenti di depannya.
“Ella!” seru seorang pria yang berada di dalam mobil tersebut.
Aurora menoleh, dan ia sedikit terkejut melihat keberadaan pria itu.
“Kak Bima?”
Pria itu tersenyum lebar. Kemudian ia lantas turun dari mobilnya dan berjalan mendekati Aurora.
“Kau sedang apa di sini?” tanya pria itu.
“Menunggu angkutan umum,” jawab Aurora.
“Naiklah ke mobil. Aku akan mengantarmu.”
Tanpa banyak bicara lagi, Aurora langsung mengikuti pria itu yang masuk ke dalam mobil. Lumayan, dapat tumpangan gratis. Dari pada menaiki becah Bapak itu yang harganya setara dengan tiket Kereta Api.
“Kau sangat berubah. Aku hampir tidak mengenalmu tadi,” ujar pria itu. Membuat Aurora langsung terkekeh pelan.
“Kau juga,” balas Aurora.
“Memang apa yang berubah dariku?” tanya pria itu.
“Kau jauh lebih tampan sekarang,” puji Aurora. Membuat pria itu langsung tertawa kecil.
“Selama ini kau tinggal di mana?” tanya pria itu lagi.
“Di Paris.”
Pria itu membulatkan matanya lebar. Mungkin tidak menyangka, wanita seculun Ella bisa tinggal di Kota besar Luar Negeri.
“Sepertinya kita harus makan bersama. Aku ingin mendengar tentangmu lebih banyak,” ucapnya.
“Ayo. Mumpung aku sedang tidak ada pekerjaan,” balas Aurora.
***
Tok tok tok.
“Masuk.”
Seorang gadis cantik masuk ke dalam dengan membawa satu nampan yang berisi minuman dan biskuit.
“Nena menyuruhmu pulang sebentar,” ujar gadis itu yang tak lain adalah Lily.
“Pekerjaanku masih banyak,” balas Reyhan cuek sambil terus menanda tangani berkas yang menumpuk. Bahkan pria itu tidak menatap Lily sama sekali.
“Ini sudah jam lima sore. Pulang sebentar tidak akan membuat pekerjaanmu terbengkalai.” Gadis itu masih berusaha untuk membujuk kakaknya. Namun apa daya, pria itu sangat keras kepala.
“Kau boleh keluar, kalau sudah tidak urusan lagi.”
Lihatlah! Gadis itu malah diusir oleh sang Kakak. Entah harus dengan cara apalagi menghadapi pria sedingin Reyhan. Lily sudah tidak sanggup lagi rasanya.
“Jangan membuat Nena marah, Kak!”
Sepertinya gadis itu tak mau menyerah. Dia masih berusaha untuk membujuk sang Kakak yang sangat keras kepala.
“Belikan aku minuman terlebih dahulu. Baru aku akan pulang ke rumah.”
Lily mendesis kesal. Lagi- lagi kesabarannya diuji oleh pria ini. Jika bukan kakaknya, mungkin sudah Lily getok kepalanya. Sekalipun dia adalah seorang Presdir.
“Tunggu sepuluh menit,” ketus Lily.
“Aku tidak ingin meminum minuman kantor. Aku ingin ice coffee yang ada di Grand Indonesia.”
“Banyak mau, ih,” kesal Lily dengan wajah yang merengut menahan emosi. Sedangkan Reyhan hanya tersenyum simpul melihatnya.
Tanpa berlama- lama lagi, gadis itu langsung keluar dari ruangan dan berlari secepat kilat menuju lift. High heelsnya tadi ia lepas di ruangan Reyhan dan berganti memakai sandal jepit milik pria itu. Ia seperti itu karena tidak mau membuang- buang waktu lebih lama lagi. Mamanya sudah memasak makanan kesukaannya, jadi ia ingin buru- buru pulang ke rumah.
Sesampainya di tempat tujuan, Lily langsung bergegas masuk ke dalam untuk mencari outlet penjual es kopi kesukaan kakaknya. Cukup mengantre selama sepuluh menit saja, dan ia berhasil mendapatkan minuman itu.
Lalu ketika Lily keluar dari area Mall, matanya tak sengaja melihat sosok wanita cantik yang sedang berjalan dengan seorang pria yang ia kenal. Cukup lama, Lily memandangi wanita itu. Hingga akhirnya, matanya langsung membulat lebar saat menyadari siapa wanita itu sebenarnya.
Minuman Reyhan ia jatuhkan, jajanan yang ia beli juga ia jatuhkan. Lalu ia berlari menghampiri wanita itu yang hendak masuk ke dalam mobil.
“KAK ELLA!” teriaknya.