BAB 9. Penasaran Satu Hal

1097 Kata
Eve lelah menangis dan berteriak. Dia berbaring lemas di ranjang. Sejak pagi dia juga belum makan dan minum. Pintu dibuka, seorang pelayan wanita masuk membawa baki besar. Lalu dia meletakkan baki itu di atas meja nakas. Dengan sisa tenaga, Eve bangkit duduk. Dipandangnya bermacam makanan dan minuman di atas baki, tampak lezat dan dalam porsi cukup banyak. Tapi Eve tidak merasa lapar sama sekali. Dia hanya lelah, butuh minum. Tenggorokannya terasa kering sekali. “Silakan dimakan Nona. Oh ya, Nona juga boleh request makanan atau minuman lain jika semua yang disajikan ini tidak sesuai dengan selera Nona.” Aku nggak berselera makan bukan karena makanannya. Tapi karena aku ingin keluar dari sini! Lebih baik aku makan di rumah meskipun masakannya jauh lebih sederhana daripada semua itu. Aku harus keluar dari rumah ini! Eve mendelik tajam pada si pelayan. Lalu dengan cepat Eve berdiri dan mendorong pelayan wanita itu hingga oleng ke samping dan menabrak meja. Eve tidak menyiakan kesempatan itu. Tenaga yang tadi telah habis seketika muncul kembali. Dia berlari ke arah pintu kamar yang terbuka. Namun ternyata tidak ada yang namanya kesempatan. Dia menabrak seseorang di luar pintu. Yang berdiri tegap di tengah dengan kedua tangan ke belakang, sikap sempurna untuk beristirahat di tempat. Pria itu terlalu kuat untuk diterjang. Eve sampai terpental mundur lagi ke belakang dua langkah. Perlahan mendongak. Pria itu ternyata sangat tinggi, dan juga sangat kekar. Seperti tubuh seorang binaragawan. “Astaga! Apa-apaan ini!” “Silakan kembali ke dalam kamar, Nona,” ucapnya sambil agak membungkuk. Suara beratnya menggelegar. Eve sedang berhadapan dengan seorang raksasa jika dibandingkan dengan tubuh mungilnya. Tidak berkutik. Eve masih punya otak untuk berpikir jernih. Maka dia kembali masuk ke kamar. Berjalan hingga ke dekat meja nakas. Menatap piring-piring berisi makanan lezat yang tidak ada satupun menggugah seleranya. “Nona, pesan Tuan Leon, Nona harus makan.” Pelayan tetap menunjukkan sikap ramahnya, meskipun tadi dia sempat didorong. “Cih! Bilang pada tuanmu itu! Aku bukan budaknya yang bisa dia atur-atur! Terserah aku mau makan atau tidak! Bukan urusan dia! Dan lagipula, aku nggak selera makan! Aku nggak mau makan! Aku cuma mau pulang!” Tangan kiri Eve meraih gelas kaca kosong lalu melemparnya dengan cepat, ke arah tembok. Pranggg! Pecah di lantai. Pelayan menghela napas dalam. “Baik, Nona.” Lalu dia membalik badan dan keluar dari kamar. Bodyguard raksasa segera menutup pintu kamar kembali. Eve segera mengejar. Blam! Terlambat. Pintu sudah tertutup rapat kembali. Dia berusaha membuka knop pintu tapi tidak bisa. Sudah dikunci dari luar. “Ah, sialan!” Eve menonjok daun pintu sekali. Akibatnya dia meringis kesakitan. Kesal, Eve berjalan gontai, kembali menuju ranjang. Dia ingin berbaring saja di sana. Tapi begitu sampai di samping meja nakas, matanya melirik bermacam makanan dan minuman yang tersaji. “Haus,” lirihnya. Dia meraih sebotol air mineral. Membuka tutupnya lalu dengan cepat menenggak langsung dari botol. Sebab tadi gelasnya sudah dia pecahkan. Dalam hitungan detik, isi botol tandas berpindah ke dalam perut gadis itu. Dia merasa jauh lebih segar sekarang. Lalu diliriknya piring berisi steak daging, lengkap dengan potongan buncis dan wortel. Dan masih ada beberapa piring lain berisi menu berbeda. Eve menelan ludah. Perutnya bunyi. Tiba-tiba merasa lapar. Dia menggeser kursi dari depan meja cermin, berpindah ke depan meja nakas samping ranjang. Duduk di sana dan mulai menarik piring berisi steak daging ke dekatnya. Ketika mulai memakan satu gigitan, bola mata indahnya langsung membulat sempurna. “Enak banget!” desisnya. Ini bukan pertama kali Eve makan steak daging. Dulu sang papa seringkali memanjakannya dengan mengajak makan di luar, termasuk makan steak. Tapi lidahnya mensinyalir kalau ini adalah steak daging sapi terlezat yang pernah dia makan. Maka dengan bersemangat Eve kembali memotong daging lalu suapannya yang kedua ini lebih besar, ditambah potongan buncis dan wortel yang sangat segar. Dia melirik ke meja lain, diambilnya sepotong besar potato wedges. Dan ternyata menu yang satu ini juga tidak kalah lezatnya! Padahal Eve belum memakannya dengan saus keju yang tersedia. Dia semakin lahap mengunyah. Memang sejak kemarin siang dia belum melahap makanan berat. Hanya sepotong roti bakar, itupun harus diancam dulu oleh Bella. Kalau Eve tidak mau makan karena sibuk memikirkan Aksa, maka Bella akan mencubiti Reyyan sampai memar. Dan ancaman itu berhasil, demi Reyyan tidak jadi korban, maka Eve menghabiskan selembar roti bakar ukuran standart. Sudah, itu saja. Selanjutnya lambungnya hanya terisi camilan keripik dan berakhir sebotol vodka. Masih beruntung Eve tidak tiba-tiba terserang magg. “Eeuuu!” Eve bersendawa. Cukup kencang. Setelah melahap habis sepiring steak daging. Semangkuk penuh cream sup. Sepiring sisa dua potong potato wedges. Lalu setangkup ice cream di atas waffle bentuk love. “Ehm! Kukira kamu akan mogok makan setelah ngambek dan menangis. Ternyata, malah mampu menghabiskan semuanya.” Eve tersentak oleh suara bariton yang mulai dihapalnya itu. Dia menoleh dan sontak berdiri tegap. Sampai kursinya tergeser kencang dan terjengkang ke lantai. “Sejak kapan kamu di sana?!” sentak Eve panik. Dia bagai melihat setan. Sebab tadi dia masih sendirian di dalam kamar ini, dengan pintu yang terkunci. Leon sedikit memiringkan kepalanya juga mengangkat sebelah alis. Kebiasaan Leon yang satu itu mulai terekam di kepala Eve. Wajahnya sangat tampan saat berekspresi begitu, tapi sekaligus bengis. Perpaduan antara malaikat dengan iblis. “Hemm, sejak kamu mengambil mangkuk salad lalu menyendokkan ke mulut sampai penuh. Aku diam tapi berjaga, kalau-kalau kamu tersedak. Ck ck kasihannya—sampai kelaparan begini.” “b******k! Kamu ngapain ngurung aku di sini?! Maksudmu apa?! Seharusnya aku yang marah! Kamu yang salah! Kamu yang harus dihukum!” Setelah makan begitu banyak, energi kemarahan Eve kembali terisi. “Ck ck galaknya.” Leon berjalan perlahan. Mendekat pada Eve. “Berhenti di sana! Kamu mau apa?! Jangan gila ya!” Panik. Eve mulai panik karena teringat ciuman beringas Leon tadi. Dia tidak mau kecolongan lagi. Namun langkah Leon tidak berubah sedikitpun. Baik kecepatan maupun arahnya. Membuat Eve tersudut, mundur sampai kedua paha belakangnya menyentuh ranjang. Tubuh Eve terlalu tegang untuk bergerak. Jadi hanya bola matanya yang mengikuti pergerakan tangan Leon. Tangan Leon terulur ketika jarak mereka hanya beberapa senti saja, dekat sekai. Bahkan aroma parfum Leon begitu pekat tapi candu. Diam-diam Eve menarik napas dalam. Tangan kanan Leon terulur lalu menyentuh bibir bawah Eve, lembut sekali. Mengusap ke bawah, perlahan. “Bibirmu belepotan saus,” ucapnya lalu mengelap ujung jari ke tisu di atas baki. Dekat piring makanan yang sudah kosong. Hah?! Jadi dia cuma mau ngelap bibirku saja? Kenapa nggak langsung pakai tisunya saja sih! Dasar pria m***m, pasti ada maunya! Awas saja, aku tendang selangkangannya kalau berani macam-macam! “Aku nggak akan macam-macam, Eve. Aku hanya penasaran satu hal.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN