Regina

2103 Kata
Stella tiba di depan pintu ruang kerja Xavier, tepat 5 menit. Tidak kurang dan tidak lebih. Setelah menenangkan diri dan menghembuskan nafas pelan, Stella mengangkat tangannya dan mengetuk pintu. “Masuk.” Suara berat Xavier terdengar dari dalam, memberikan izin. Stella membuka pintu dan melangkah masuk dengan perlahan. Begitu masuk ke dalam ruangan, Stella disuguhi pemandangan Xavier yang sedang menunduk dan sibuk membaca dan menandatangani dokumen-dokumen yang menumpuk di mejanya. Meski Stella yakin, Xavier sudah menyadari kehadirannya di dalam ruang kerjanya, namun, tak sekalipun Xavier melihat ke arahnya. Melirik pun tidak. “Berlutut.” Kaki Stella langsung tertekuk berlutut dengan kepalanya menunduk dalam-dalam. “Kemari.” Stella langsung berjalan diatas lututnya, tak peduli dengan nyeri yang mengganggu, Stella bergegas mendekati meja kerja Xavier dan berhenti tepat di sisi kursi Xavier. “Buka bajumu. Semuanya.” Tanpa menghentikan kegiatannya, Xavier mengambil dokumen baru dari tumpukan kertas-kertasnya dan membacanya. Kali ini, tidak ada lagi keraguan ataupun keinginan untuk menolak dari Stella. Kedua tangannya dengan sigap membuka seluruh kancing. Perlahan kain yang menutupi tubuhnya diturunkan, dilipat dengan rapi dan diletakkan di sisi tubuh Stella, diikuti dengan rok dan celana dalamnya. Setelah telаnjang bulat, Stella kembali berlutut dan menundukkan kepala. Menunggu perintah Xavier selanjutnya. Meski heran dengan sikap penurut Stella yang sudah layaknya seperti seorang budаk, saat Xavier melirik sekilas ke arah Stella, tak sedikitpun emosi tergambar di wajahnya, maupun di sorot matanya. Raut Xavier tetap datar dengan dingin, tanpa emosi. “Kau lulusan fakultas bahasa dengan predikat Summa c*m laude?” Xavier bertanya sambil terus menandatangani dokumen yang berada di depannya. “Iya, Master.” “Berapa bahasa yang kau kuasai?” “5, Master.” “Apa saja?” “Selain bahasa Italia, saya menguasai bahasa Inggris, Spanyol, Mandarin, Jepang dan Indonesia.” “Sprechen Sie fließend Deutsch?” “Nicht wirklich Meister. Ich kann nur für leichte Konversation antworten.” Xavier mengangkat kedua alisnya tinggi, melepaskan pandangan sejenak dari dokumen di depannya untuk menatap Stella beberapa detik dan kemudian melanjutkan membaca kembali. Meski Stella mengatakan dirinya tidak fasih berbahasa Jerman dan hanya bisa untuk percakapan sehari-hari, tetapi cara pengucapannya begitu baik layaknya seorang warga asli. Akhirnya Xavier mengangkat kepalanya dari dokumen yang sedang dibacanya dan menatap Stella. Tatapannya masih tetap dingin, tetapi Stella bisa merasakan ada yang berbeda. Entah dari mana, tapi Stella merasa, Xavier terasa sedikit menghargai dirinya. “Komputer?” “Bisa, Master.” Xavier terlihat mencari-cari sesuatu di tumpukan kertas-kertasnya, tak lama dia mengeluarkan setumpuk dokumen dan menyerahkannya kepada Stella. Kemudian di atas tumpukan dokumen itu, Xavier juga meletakkan sebuah laptop. “Terjemahkan dokumen itu ke bahasa Inggris dan Mandarin. Di dalamnya juga ada dokumen yang ditujukan kepada keluarga besar Leone yang berada di Australia. Terjemahkan dengan baik.” “Ya, Master.” Dengan taat, Stella segera meletakkan semua dokumen dan laptop itu di lantai, dan mulai bekerja. Karena Stella tidak diperintahkan untuk berhenti berlutut, maka layaknya seorang budаk yang taat, Stella bekerja sambil berlutut. Begitu mulai membuka lembar pertama, wajah cantiknya langsung terlihat sangat serius. Stella sudah tidak dapat menghitung berapa lama waktu telah berlalu. Punggungnya sudah terasa sangat pegal dan kakinya mulai mati rasa, tetapi Stella tidak berani mengeluh sedikitpun. Yang bisa dilakukan Stella hanya sesekali memindahkan tumpuan berat tubuhnya, atau meluruskan punggung pegalnya dan kembali bekerja. Tanpa Stella sadari, Xavier ternyata cukup memperhatikan segala gerak-geriknya. Mata coklat keemasannya, melihat lutut Stella yang mulai memerah, dan bagaimana gadis itu sesekali memukul punggungnya pelan untuk meredakan rasa pegalnya. “Duduk di sofa.” “Terima kasih, Master.” Stella tersenyum cerah saat mendapatkan perintah baru dari Xavier. Dengan sigap dia merapikan dokumen yang sedang dibacanya dan masih berjalan dengan lutut, Stella cepat-cepat membawa semuanya ke sofa yang ada di depan meja kerja Xavier. Meski sudah diperintahkan untuk duduk di sofa, tetapi Stella merasa lebih nyaman duduk di lantai, dengan laptop yang berada di atas meja. Melihat tidak ada tanggapan dari Xavier atas pilihannya, Stella meneruskan kegiatannya dengan senang hati, pancaran kebahagiaan terlihat jelas di wajah Stella saat dia melanjutkan pekerjaannya. Sejak kecil, Stella selalu suka membaca dan menulis. Cita-citanya adalah menjadi seorang penerjemah yang dapat bekerja di Persatuan Bangsa-Bangsa. Ketika di mansion Costello, Stella memiliki perpustakaan pribadi di kamarnya, yang besar ruangannya sama besar dengan kamarnya. Teringat masa-masa indah di rumahnya dulu, wajah Stella seketika menjadi muram. Dengan hembusan nafas panjang, Stella mencoba mengenyahkan bayangan masa lalu. Hidupnya sudah berubah 180 derajat. Tidak ada gunanya lagi untuk Stella terus mengingat masa-masa dirinya menjadi Nona Muda, karena sekarang–dan entah sampai kapan–dirinya hanyalah seorang budаk. Detik berlalu menjadi menit. Menit berlalu menjadi jam. Jam berlalu dengan cepat saat keduanya bekerja dengan serius. Matahari sudah nyaris akan tenggelam, saat Stella menyelesaikan tugas yang diberikan kepadanya. “Saya sudah selesai, Master.” Stella menyimpan dokumen yang sudah diterjemahkannya di dalam laptop, dan kembali berlutut. Berjalan di atas lututnya dengan hati-hati dan menyerahkan laptopnya kembali pada Xavier untuk diperiksa. Xavier meraih laptop dan dokumen dari Stella, kemudian membacanya dengan seksama. Alis Xavier kembali terangkat tinggi saat melihat betapa bagus dan akuratnya hasil terjemahan yang dibuat oleh Stella. “Pekerjaanmu bagus.” “Terima kasih, Master.” Wajah Stella berbinar-binar, hatinya serasa tenggelam dalam kebahagiaan saat pertama kalinya Xavier memberikan penghargaan pada dirinya. Selesai dengan dokumen-dokumen itu, Xavier memerintahkan Stella untuk mengenakan pakaiannya kembali dan pergi dengannya menuju Aula Pertemuan untuk mengikuti pertemuan. Kali ini, mereka benar-benar pergi untuk melakukan pertemuan bisnis, namun tempat Stella tetap saja berada di lantai dengan kepala yang diletakkan di pangkuan Xavier seperti budаk pada umumnya. Stella sangat senang ketika mendengarkan pertemuan yang membahas tentang bisnis legal antar organisasi mafia dan bukannya pertemuan antara para ketua mafia untuk perkenalan budаk. Beruntungnya juga, peserta pertemuan kali ini bukanlah ketiga ketua mafia yang ditemui Stella waktu itu. Namun…menjadi seorang b***k, Stella tidak boleh lengah sedikitpun, karena nasibnya dapat berubah setiap waktu. Saat kembali ke mansion, kemanapun Xavier melangkah, Stella selalu berada tepat di belakangnya. Meski begitu, tak satu patah katapun Xavier berbicara pada Stella. Stella benar-benar dianggap hanya sekedar bayangan oleh Xavier. Namun, setiap pelayan, penjaga dan budаk yang melihat mereka, semua menatap Stella dengan pandangan aneh. Para pria menatap Stella dengan tatapan mеsum penuh nаfsu. Para wanita menatap Stella dengan tatapan benci dan iri. Sampai saat ini, Stella masih tidak mengerti kenapa mereka semua menatapnya seperti itu. ===== Malam berlalu, pagi menjelang. Semua orang kembali pada kesibukannya masing-masing, begitu juga dengan Stella. Saat matahari kembali tenggelam, Stella baru bisa kembali ke kamar tidurnya. Sejak membuka mata sampai detik ini, Stella hanya melihat tumpukan baju dan cucian pakaian semua orang di mansion. Meski sudah ada mesin cuci dengan teknologi canggih yang bisa digunakan, namun, kepala rumah tangga melarang Stella untuk menggunakannya dan menyuruhnya untuk mencuci semua pakaian itu dengan menggunakan tangan. Alhasil, lengan dan pergelangan tangan Stella terasa pegal dan sakit. Jari-jarinya terasa kasar dan kering karena terus menerus terendam air dan deterjen. Stella sedang terbaring kelelahan di atas ranjang saat Marissa memasuki kamarnya. “Aku membawa salep dan obat gosok. Hari ini kau mendapatkan tugas untuk mencuci dengan tangan, bukan? Aku juga pernah, dan aku tahu bagaimana rasanya tanganmu saat ini.” Stella bergegas bangkit dari tidurnya dan duduk di pinggir ranjang, saat Marissa mendekat dan ikut duduk di sisinya. “Tunjukkan tanganmu.” Menahan rasa nyeri dan pegal, Stella menjulurkan tangannya dan memperhatikan saat Marissa membalurkan salep dan obat gosok di tangan dan lengannya. Tak membutuhkan waktu lama, salep dan obat yang dibawa Marissa terasa hangat dan lembut, membuat nyeri di tangan dan lengan Stella dengan cepat mereda. “Terima kasih, Marissa.” “Sama-sama.” Marissa menjawab dengan acuh tak acuh dan segera membereskan obat-obat dan alat-alat yang baru saja digunakan untuk merawat Stella. “Marissa…” Stella memanggil saat Marissa hendak melangkah pergi. “Ya?” Marissa terhenti sesaat dan berbalik ke arah Stella yang masih duduk di pinggir ranjang. “Aku ingin bertanya tentang sesuatu.” “Apa?” Marissa menatap Stella dengan kening berkerut sedikit kebingungan. “...Siapa Regina?” Stella bertanya dengan nada ragu-ragu. Mendengar nama yang ditanyakan oleh Stella, Marissa terdiam sesaat. Raut wajahnya sontak berubah masam. Dengan langkah cepat, Marissa mendekat dan menatap Stella dengan tatapan waspada. Tangannya menggenggam erat kantong yang dibawanya. “Dari mana kau tahu nama itu?” “Ma-maaf, jika aku lancang. Aku sering melihat orang-orang di mansion ini menatapmu dengan tatapan kasihan dan membicarakan tentang seseorang yang bernama Regina.” Sesaat Marissa kembali terdiam dan tak lama mendudukkan dirinya di sisi Stella. Kepalanya menunduk dan matanya terus menatap lantai. “Regina adalah putriku. Meski dia tak lagi ingat memiliki aku sebagai ibunya.” “Kenapa begitu? Apakah dia sakit?” Marissa kembali terdiam cukup lama, terlihat sedang menimbang-nimbang antara keinginan bercerita dan tidak, sampai akhirnya, Marissa menghembuskan nafas panjang sebelum memulai bercerita. ‘Regina salah satu Budаk Raja milik ayahmu. Dia baru berusia 12 tahun saat dibawa ke Aula Pertemuan untuk diperkenalkan.” “Apa?!” Air mata Stella sontak mengalir, wajahnya terlihat sangat terkejut, dia tidak pernah menyangka ayahnya dan para ketua mafia ternyata benar-benar orang-orang yang sangat kejam dan tidak berperikemanusiaan. “Di pertemuan seperti itu, budаk perempuan bukanlah manusia. Mereka hanya binatang eksotis dengan alat kelamin, jadi berapapun usianya bukanlah masalah. Saat itu, Regina diperkenalkan pada 4 orang ketua mafia.” Marissa menatap Stella lekat-lekat, mencoba mencari tahu apakah keterkejutan dan air mata Stella tulus atau hanya sekedar pura-pura. Mendapati tak ada kebohongan maupun kepura-puraan di mata biru Stella, Marissa melanjutkan ceritanya, “Para budаk lainnya merasa iri pada Regina. Mereka ingin menjadi sepertinya, disukai oleh para penguasa. Padahal bagi Regina sendiri, semua itu sudah seperti neraka… …Setahun kemudian, ayahmu, Dimitri memberikan tugas pada Regina untuk membersihkan kolam ikan kesayangannya. Namun, waktu yang Dimitri berikan pada Regina sangat pendek, sehingga Regina tidak sempat menyelesaikan tugasnya… …Keadaan semakin kacau, saat ada beberapa ekor ikan di kolam itu yang mati.” “Melihat ikan kesayangannya mati, Dimitri langsung mengeluarkan cambuknya dan memecut tubuh kecil putriku dengan sekuat tenaganya… …15 goresan besar menghiasi punggung kurus Regina. Salah satunya bahkan sempat menyambar telinga dan melukai gendang telinganya, sehingga sampai saat ini Regina nyaris tak dapat mendengar lagi.” Marissa bercerita dengan air mata menetes membasahi kedua tangannya yang mengepal di atas pangkuannya. Stella menutup mulutnya dengan telapak tangannya, tak sanggup berkata-kata. Marissa menatap Stella tepat di bola mata birunya dan berkata dengan nada setengah mengejek setengah putus asa, “Setelahnya, ayahmu memerintahkan pada tiga orang penjaga yang berada di sana untuk bersenang-senang dengan putriku. Bahkan pada saat punggung dan telinganya masih mengalirkan darah. Regina nyaris mati karena kehabisan darah.” Stella hanya bisa terus menggelengkan kepala tak percaya, air mata terus mengalir dari kedua mata birunya, terbayang wajah sang ayah yang begitu kejam dan sadis. Stella tak sanggup lagi bertatapan dengan Marissa. Dia hanya bisa menundukkan kepala dalam-dalam. Suara Marissa terdengar serak dan sedikit bergetar berusaha menahan tangis, saat melanjutkan bercerita, “Putri kecilku, nyaris mati. Tubuhnya kejang-kejang saat penjaga ketiga sedang menyiksanya, dan saat itu, Tuan Xavier yang berhasil menyelamatkan Regina. Tuan Xavier bahkan membunuh penjaga yang ketika itu masih berada di atas tubuh Regina.” “Ayahmu, menghukum Tuan Xavier dengan sangat keras. Kejadian hari itu menyebabkan Regina mengalami trauma berat. Selama enam bulan, Regina tidak pernah melihat siang atau malam. Dia hanya terdiam di pojok kamar dengan tatapan kosong. Tidak bicara, tidak makan, tidak tidur, hanya diam. Bahkan sampai saat ini, putriku masih berjuang untuk sembuh.” Marissa bangkit perlahan setelah menyelesaikan ceritanya. Tanpa berkata apa-apa lagi, wanita paruh baya itu segera berlalu meninggalkan Stella yang masih terisak. Stella merasa sangat bersalah. Dia tidak bisa berkata sepatah katapun, bibirnya terkatup rapat. Sekarang aku mengerti kenapa Marissa terlihat marah saat aku mengatakan Xavier seperti monster, karena dia memang bukan monster. Ayah yang monster, raja dari segala monster. Oh Ayah, apa sebenarnya yang kau cari dengan semua ini? Apakah kebahagiaan? Kekuasaan? Pada akhirnya kau bahkan mati tanpa kebahagiaan maupun kekuasaan, ayah… Marissa tiba-tiba terhenti saat nyaris melewati pintu kamar Stella. Setelah berpikir sesaat, Marissa kembali berputar dan menatap Stella sambil berkata, “Mungkin semua itulah, penyebab kenapa aku tidak bisa merasa kasihan padamu, Nona. Karena aku sangat tahu bagaimana Tuan Xavier menahan dirinya padamu. Mungkin ayahmu benar-benar membuat kami semua menjadi seorang monster.” Kalimat terakhir Marissa terus terngiang di telinga Stella, bahkan lama setelah Marissa pergi meninggalkannya. “Kau tahu, Nona, nikmatilah waktumu selama Tuan Xavier masih menahan diri. Aku sangat tahu kalau wanitanya masih menjadi pemuas setiap kali Tuan bersamamu, dan menurutku, itu adalah berkah bagimu. Aku tidak pernah mengharapkannya, tetapi aku sangat yakin, suatu hari nanti, Tuan, tidak akan bisa menahan diri lagi dan melepaskan semuanya padamu. Mungkin pada saat hari itu tiba, kau akan tahu, seberapa parah ayahmu merusaknya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN