"Bagus kamu pulang. Aku pikir kamu nggak akan pernah datang lagi.” Debrina memutar kursi rodanya dengan perlahan, lalu berhenti menghadap suaminya yang baru saja masuk ke ruangan. Ernest, dengan raut wajah lelah dan sorot mata gelap, tampak membawa beban berat yang tak kasatmata. Tatapannya kosong, langkahnya malas, dan tubuhnya terasa lebih dingin dari biasanya. Sudah seminggu mereka tidak bertemu, tapi jarak itu terasa seperti seabad penuh kehampaan. Debrina menghela napas pelan, dadanya sesak oleh kerinduan dan luka yang tak pernah sembuh. Tanpa berkata sepatah kata pun, Ernest menjatuhkan diri ke sofa. Debrina hanya bisa menatapnya dalam diam, lalu perlahan-lahan mendekat, berharap keberadaannya bisa sedikit menghangatkan kesunyian di antara mereka. ”Ke mana anakmu?” tanya Ernest tan