Lilies duduk diam di sofa, kedua tangannya terlipat di pangkuan, matanya tak lepas dari sosok Gisella yang tengah sibuk di depan kanvas. Beberapa hari ini, rutinitas Gisella tak berubah—duduk berjam-jam sambil mencoretkan kuas, larut dalam dunia sendiri. Seolah ada bara yang membakar d**a, mendesak untuk ditumpahkan, namun tak satu pun lukisan selesai. Hanya guratan abstrak dan warna-warna kacau yang tak memiliki bentuk. Lilies mendesah pelan. Ia sudah beberapa kali melihat Gisella terdiam lama, menatap kosong ke kanvas, lalu tiba-tiba menghapus air mata yang menggantung di sudut mata. Hatinya terenyuh. Ia tahu, Gisella sedang menanggung luka yang dalam, dan melukis tampaknya satu-satunya cara untuk bertahan. Namun, Lilies pun sadar, rasa sakit itu belum menemukan jalan keluar. Dan sampai