Gisella melirik lagi ke arah ibunya, yang masih menunduk tanpa berkata sepatah kata pun. Hatinya nyeri melihat sosok Marisa yang dulu tegas dan angkuh kini tampak seperti bayangannya sendiri—lelah, kosong, dan hilang arah. Rasanya sulit percaya bahwa wanita di hadapannya ini adalah orang yang dulu tak segan membentak demi hal-hal sepele, yang selalu bicara dengan nada tinggi dan tuntutan. Kini, ia seperti telah kehilangan semua semangat hidup. Kehilangan Gradia rupanya telah meruntuhkan dinding pertahanan yang selama ini Marisa bangun. Gisella menggenggam sendok dengan kuat, berusaha menahan gejolak emosi yang menyeruak. Ia ingin marah, ingin menyalahkan ibunya atas semua hal buruk yang terjadi—penjualan dirinya, keretakan keluarga, dan ketidakpedulian yang selama ini ia tahan. Tapi di sa