Bambang terdiam, membiarkan suara percakapan dua adiknya mengambang tanpa tanggapan. Amarah yang semula membuncah di ujung lidah, perlahan ia telan kembali bersama rasa kecewa yang menyesakkan. Pandangannya tertuju pada Ernest, laki-laki yang dulu ia percaya sepenuh hati, kini hanya meninggalkan rasa getir. Ia tidak menyangka, pengkhianatan bisa datang dari orang yang paling ia andalkan. Matanya menajam, menyorotkan kebencian yang selama ini ia pendam dalam diam. Dalam hatinya, tumbuh bara yang siap meledak kapan saja—sebuah pengingat bahwa kepercayaan yang dikhianati tak mudah dimaafkan, apalagi dilupakan. ”Kamu mengancamku?” Ernest menggeleng. ”Aku membela diriku. Kalau sampai terjadi apa-apa denganku, atau wanita yang aku cintai itu, aku pastikan akan membawa kalian semua dalam kehanc