BAB 47

1296 Kata

Debrina menatap hujan yang mengguyur bumi tanpa henti dari balik jendela besar kamarnya. Butiran air itu jatuh satu per satu, menciptakan genangan dan membawa serta hawa dingin yang menyelinap hingga ke tulang. Namun, dingin yang ia rasakan bukan berasal dari hujan, melainkan dari pendingin ruangan yang menyala terus-menerus. Ia menggigil pelan, mengusap lengan yang kulitnya mulai tampak mengeriput dengan pandangan sendu. Setiap garis dan kerutan itu mengingatkannya akan waktu yang tak terelakkan. Dengan lirih, ia memberi tanda kepada pelayan yang setia menunggunya, meminta untuk mengoleskan pelembab—usaha kecil menahan laju waktu yang terus mengikis. ”Apa papaku masih di ruang kerja?” ”Tidak, Nyonya. Ada di ruang tamu. Tuan Herman dan Tuan Rahadian sudah datang.” Debrina menghela napas

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN