Suara hujan masih samar-samar terdengar dari luar dinding kaca mall yang menjulang tinggi. Gwen duduk di bangku panjang dekat eskalator, menunduk, air mata belum benar-benar kering di pipinya. Hatinya masih sesak — pertemuannya dengan Revan, sosok dari masa lalunya yang ia hindari selama bertahun-tahun, terasa seperti hantaman yang membuka luka lama yang belum sempat sembuh. Langkah-langkah kaki mendekat. Seseorang berdiri di hadapannya. “Gwen.” Suara berat dan tenang itu langsung membuatnya menoleh. Xavier berdiri di sana, kali ini tanpa senyum menggoda seperti biasanya. Kemeja hitamnya sedikit kusut, dasinya longgar, tapi sorot matanya dalam — hangat dan cemas bersamaan. Ia memandang Gwen lama, lalu mengulurkan tangan. “Ayo. Kamu nggak bisa nangis di sini.” Gwen menatapnya ragu. “

