Angin malam masih terasa dingin di rooftop ketika Sean meninggalkan tempat itu. Langkahnya bergema samar di antara suara deru kota yang jauh di bawah sana. Vino dan Shandy berdiri diam beberapa saat, masih menatap pintu lift yang baru saja tertutup. Xavier menghela napas panjang, duduk di kursi besi yang ada di sudut rooftop, tangannya menyeka darah di bibirnya dengan tisu dari saku jasnya. “Lo gila,” kata Shandy pelan. Xavier tertawa lirih, suaranya serak. “Mungkin. Tapi kadang, gila itu satu-satunya cara buat sadar kalau kita masihmenikmati hidup.” Vino ikut duduk di sebelahnya, menatap luka di wajah Xavier yang mulai memar. “Tapi kenapa lo harus bikin Sean marah sampai segitunya, X? Lo tahu dia paling tempramen di antara kita semua.” Xavier terdiam sebentar. Pandangannya kosong ke a

