Pesawat pribadi yang membawa Sean dan Nadine mendarat mulus di Bandara Halim pada pagi hari. Jakarta menyambut dengan langit kelabu dan hiruk-pikuk khas kota besar, begitu kontras dengan sunyi dan putihnya Swiss yang baru saja mereka tinggalkan. Dari jendela jet, Nadine menatap gedung-gedung menjulang yang terlihat seperti barisan baja dingin, sementara Sean duduk di sampingnya, membuka kembali ponselnya yang sejak beberapa hari nyaris ia abaikan. Puluhan pesan, email, dan notifikasi bisnis masuk bertubi-tubi, seolah tak memberi ruang bernapas. Namun Nadine menyadari sesuatu. Kali ini Sean tidak langsung menenggelamkan dirinya dalam layar ponsel. Ia meliriknya sesekali, bahkan sempat meraih tangan Nadine ketika pramugari menyiapkan mereka untuk turun. Sentuhan itu kecil, tapi cukup untuk

